Jumat, 26 April 2019

Catatan Tentor Part VI

Catatan Tentor
Part VI

       Pasca acara BTA70 mencari bakat
     Bertahun-tahun selama saya jadi juri di berbagai lomba, kadang saya merasa bosan. Kebanyakan peserta lomba menampilkan "warna" yang senada, misalnya, lomba baca puisi baik intonasi dan ekspresi semua nyaris sama. Padahal berpuisi itu tidak mesti harus teriak-teriak dengan suara melengking sampai mengusik gendang telinga, kadang Tuhan dan nabi kita seolah dibentak-bentak, tidak mesti nangis sampai guling-guling juga untuk mengekspresikan kesedihan. Kuncinya membaca puisi dengan baik adalah pahami makna, penghayatan, ekspresi, dan intonasi yang tepat di setiap diksinya.



     Untuk tingkat SMA sederajat akhirnya saya menemukan peserta yang saya cari selama ini yang mampu memberikan warna yang berbeda, dapat membaca puisi dengan baik. Saya menemukan itu pada dua orang ketjeh ini, Saputra Prayoga dan Maulana Khaira Fajri. Dari puisi yang mereka bacakan membuat saya sebagai penikmat puisi ini sangat menikmati puisi-puisi mereka. 

     Seakan saya bisa merasakan jiwa dalam puisi itu lewat penghayatan dan intonasi yang tepat dibawakan oleh Yoga. Gaya semangatnya W.S Rendra berorasi yang menggambarkan bentuk keprihatinan dengan ekspresi yang membakar  disampaikan secara epik oleh Maulana, serasa saya menyaksikan sang penyair yang tengah pentas di Taman Ismail Marzuki. Untuk para pemula yang masih di bangku sekolah, jika kalian ingin belajar berpuisi, belajarlah dari kedua orang ini.


       Saya rasa semua akan sepakat satu kata yang tepat untuk menggambarkan adik ini yaitu, pecah. Aksinya membuat heboh. Mampu menyedot perhatian seisi ruangan, membuat saya terhibur dari rasa jenuh duduk di kursi panas. Aura dan kharismanya mengalahkan para pujangga dengan syair yang melelehkan hati. Momen sangat berkesan saat ia datang ke arah kami dengan gaya khasnya ia sempat melakukan aksi "menembak" kearah saya. Untung saya cepat tanggap langsung ikut improvisasi, saya meresponya pura-pura tertembak dan hasilnya menambah riuh ruangan. Satu momen lagi saya sempat "diancam" sama salah satu peserta lomba juga. Kak Alam salah satu juri ikut ngakak, sampai komen, "Kok, ke Mbak Lena galo, nih jadi sasaran?" hahaa.


  Wajarlah anak ini dipilih menjadi penonton terheboh. Rusuh saja kerjaanya kapanpun dan di manapun. Waktu pertandingan futsal putri kerjaannya komeen terus. Tidak pernah kehabisan bahan. Ia mengomentari Intan, "Mbak Intan ngapo dak ikut, Mbak? Payah. Kalau Mbak Intan ikut pasti menang. Keluarkan Mbak kemampuan ilmu fisika Mbak, hitung dulu. Mengukur jarak Mbak ke bola, pasti pas" kirain cuma Intan, saya juga kena, "Mbak Lena ngapo dak ikut Mbak? Mbak, kan ahli psikologi, baco psikologi mereka Mbak, kalau mereka kelihatan gugup serang Mbak atau Mbak main sambil buat karya sastra Mbak. Baco puisi di lapangan" gubrakkk. Ini anak sama teman-teman satu kelasnya memang pada heboh-heboh semua. Tapi, anak ini yang sangat absurd di antara mereka. Lulus SNMPTN jurusan Ilmu Kelautan, universitasnya di kota yang jaraknya berjuta-juta mil dari laut. Sering di bully teman-temannya, keren-keren ambil jurusan Ilmu Kelautan ujung-ujungnya nanti ternak lele, haha. Setelah lulus kuliah nanti mau ngajari mbak-mbak tentor tentang nama-nama ikan di pasar. Oh, no. Anak SD juga tahu nama-nama ikan di pasar. Ada yang membuat saya salut sama nih anak dan teman-temannya. Kalau untuk urusan saling mendukung teman kelasnya 12 IPA TW2 ini bisa dikatakan keren. Entah itu murni mendukung teman atas dasar solidaritas dan kekeluargaan atau ada udang dibalik bakwan, hehe, pokoknya salut deh buat kelas 12 IPA TW 2, "Salut-salut ... salut-salut ... saluuuut" 

Lena Munzar
Baturaja. Kamis, 21 Maret 2019/18.26 WIB.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar