Minggu, 11 Januari 2009

Ma, kita damai !!!

Ma, kita damai !!!

Indahnya. Pada sebuah bis tujuan Bekasi dari pelabuhan Merak, saya duduk di dekat jendela, takjub memandang keluar kaca. Menikmati indahnya Matahari terbit dalam nuansa perjalanan. Embun yang bulir-bulirnya sesaat membuat kaca buram, lalu meleleh diterpa hangatnya sinar mentari pagi yang kian beranjak. Seolah tak mau kalah, pohon-pohon besar serta ilalang disepanjang jalan, menari meliuk-liuk, membuat gerakan senada dengan kehangatan yang mulai terasa. Subhanallah, indah sekali perjalananku kali ini.

Sesekali saya melirik teman seperjalanan yang sedang tertidur pulas. Tampak raut wajah lelahnya, walau sesekali pula menerbitkan senyum. Saya latah ikut tersenyum. Memikirkan, entah sedang mimpi apa dia.

Namun, tiba-tiba saya tertegun. Baru pertama kali saya mengalami hal-hal seperti ini. Menikmati terbitnya surya, melihat gemulai pohon dan ilalang, mencium bau embun, walau letih yang mendera disekujur tubuh, sampai mata yang berat, namun tak mengurangi kebahagiaan yang sebelumnya belum pernah saya rasakan, bahkan, belum terpikirkan sedikit pun.

Jujur, ini kali pertama saya berpergian jauh tanpa di temani keluarga. Hanya saya bersama teman-teman. Sebelumnya Lampung dan Bengkulu daerah paling jauh yang pernah saya jelajahi. Itupun bersama keluarga.

Tapi, tidak kali ini.

Kali ini, saya mencoba sesuatu yang baru. Saya merasa di umur 22 tahun adalah waktu yang sudah sangat tepat untuk “bebas” . Walau sedikit terlambat rasanya baru melakukan di umur sekarang, dan tidak dipungkiri, pasti sudah ada banyak orang lain yang melakukan hal ini lebih dulu, di umur yang jauh lebih muda di banding saya.

Ya, setidaknya saya dapat berkesempatan “bebas”. Bebas dalam arti untuk mencoba belajar bertanggung jawab pada diri sendiri. Bukan bebas dalam konotasi negatif. Bebas menikmati ini semua dalam keadaan sadar. Padahal, biasanya ba’da subuh saya selalu di kalahkan “bertarung”. Entahlah. Rasanya sulit sekali melepaskan diri untuk sekadar terlepas atau menahan diri menolak dari godaan daya tarik kasur yang amat sangat memikat dengan begitu kuat.

Tiba-tiba HP saya bergetar. Ada SMS masuk.

Yuk, sudah sampe di mano? Kato mama jangan lupo makan. Usahakan jangan telat makanyo. Baek-baek di sano. Miss U…

Tanpa menunggu di perintah tuannya, bibir ini menyunggingkan senyum. Sebuah sms dari adik Ni’. Tidak salah! Ini pasti atas instruksi “Sabda Pandita Ratu.” Pandita Ratu itu gelar kesayangan dari kami untuk mama. Jelas, pesan singkat secara tidak langsung yang berasal dari mama, merupakan perintah yang wajib di patuhi.

Tak lama HP berderit lagi. Sms dari adik ela’ dan adik Andi. Sms yang isi intinya sama, “ perintah” untuk tidak lupa makan. Mendadak mereka semua menjadi “Badan Pengawas Makan” untukku.

Dan… aneh.

Sebenarnya bentuk perhatian seperti; jangan lupa makan, jangan telat makan, baik-baik disana, itu hal biasa. Dimana dan kapan pun kalau sedang ada agenda di luar rumah, pernik-pernik ini tidak akan pernah lolos untuk disampakaikan pada anak-anaknya.

Tapi untuk “ Miss U…”? Itu terdengar sangat lain.

Kalau di rumah kami sih biasa, sibuk dengan urusan kami sendiri-sendiri . Tapi begitu jauh seperti ini, semua mendadak berubah menjadi sedikit “romantis” dan “sok perhatian”. Bisa di buktikan akan ada banyaknya sms yang masuk selama saya menjadi musafir. Bahkan “perintah” tambahan : jangan tidur terlalu malam, jangan jajan dan makan sembarangan, jaga kesehatan dan yang lebih ribet lagi harus siap lapor setiap perjalanan baru. Itukah salah satu keajaiban dari cinta…?

Tiba-tiba saya merasakan sesuatu. Entah rasa apa itu…? Ada dingin diserap dalam batin. Rasa haru disertai teritisan rindu.

Serta merta, pikiran saya tertuju pada sosok yang melahirkan saya.

Dan saat jauh seperti ini ternyata adalah waktu yang amat mujarab untuk dapat mengingat kembali semua jasa, pengorbanan dan arti seorang ibu. Yang setiap sentuhannya amat terasa sangat tulus. Hanya seorang ibu lah yang dapat melakukanya dangan hati penuh cinta.

Mendidik anak-anaknya dengan kasih, menanamkan pengertian, membantu kita mencari hikmah dalam setiap pengalaman dari perjalanan hidup. Meskipun kebanyakan dari itu semua, terkadang tidak sesederhana yang kita bayangkan dan kita ketahui sebagai seorang anak.

Karena memang, setiap kisi keegoisan sebagai seorang anak, beranggapan seorang ibu bisa menjadi sangat posesif dipenuhi rasa panik jika sesuatu terjadi pada anaknya. Padahal, justru itulah ungkapan sederhana dari semua atas nama cinta tanpa pamrih ini.

Nanar saya pandang langit biru yang berhias awan di sepanjang jalan. Seakan melukiskan wajah yang teduh milik ibu, di kanvas raksasa yang di lukiskan oleh penciptaku.

Mengingat wajah itu, rinai mulai mengguyur hati saya, basah. Sebuah rasa penyesalan. Mengingat-ingat masih sering “melarikan diri” dari petuah-petuahnya atau kurang ikhlas menjalankan apa yang dimintanya.

Menyadari terkadang banyaknya konflik yang terjadi, sungguh tidak terhitung sejak kecil hingga sekarang. Sering terjadi perbedaan dalam sudut pandang, keras mempertahankan pendapat masing-masing. Dan bermuara pada pertengkaran-pertengkaran kecil yang terkadang malah terjebak ego, merasa paling benar, tidak mau mengalah yang sering mendominasi dari rasa gengsi.

Contoh kecil, dari hal musik. Karena dari generasi berbeda, otomatis selera pun berbeda. Dan masing-masing kami pun mempunyai selera musik yang berbeda. Ibu saya masih sangat cinta dan setia banget dengan lagu-lagu era jaman dulu. Sebut saja sederet idolanya: Pambers, Meriam belina, Tomi j pisa …dan masih sederet panjang nama-nama penyanyi idolanya.

Sedang saya, ah… sulit sekali buat saya menerima dengan tangan terbuka. Bisa di bilang tidak sehati. Bahkan agak membuat saya kriting kuping-kribo rambut. he..he..

Tapi, anehnya, malah saya hapal dan terkadang tanpa sadar sering ikutan bernyanyi walau dengan nafas kesal kala tembang-tembang itu di putar.

Huff…

Boro-boro mau dengar nasyid.

Tapi di nuansa rindu seperti ini, mau tidak mau saya harus berdamai. walau tanpa kesepakatan yang di sepakati sebelumnya.

Dan saya harus merelakan dengan ikhlas mendengar tembang-tembang itu di putar secara bebas di bis dalam perjalanan ini. Hmm…ia pasti satu generasi dengan ibu.

Anehnya, tetap saja saya tidak “protes” seperti yang sudah-sudah. Seakan-akan dituntut untuk selalu berdamai. Membiarkan lagu-lagu itu mewarnai perjalanan saya, tanpa bisa mendeteksi berapa lama lagi saya dapat mengakhiri perjalanan ini.

Ya, di nuansa rindu seperti ini, lagu-lagu itu terdengar indah, seakan terasa ada aura dan nafas ibu. Terbayang ia tersenyum manis, berbahagia sambil berdendang ria. Dan lagi-lagi, mau tidak mau saya terpikir sesuatu. Seakan baru tersadar dari rasa penyesalan.

Ya Allah, betapa egoisnya saya. Mengapa tidak terpikir untuk berdamai saja? Dengan ibu sama seperti saat ini??

Tanpa di sadari ada rasa menyesak di dalam dada dan sesuatu terasa memanas mengalir di pipi, pedih di ruangan mata.

Hhh…

Ya, mungkin inilah saatnya mencoba untuk menghargai perbedaan, dan menyingkirkan segala rasa berat dan egois. Saya ingin menjadi anak yang baik buat mama.

Tiba-tiba telinga saya menangkap sesuatu. Sebuah lagu yang sedang mengalun, baru di putar oleh sang sopir menggeser tembang-tembang kesayangan mama. Lama merenung dan mencoba mengingat-ingat.

Tunggu…sepertinya, saya mengenali lagu ini ? serasa sudah tidak asing lagi di telinga saya.

Ya, lagu lama yang di arasemen ulang, sengaja di ubah. Mungkin bertujuann menuruti selera pasar sekarang. Telinga saya semakin lekat dan rasa tertarik pun semakin lama semakin besar. Jujur saya akui lagu ini terdengar seru dan asik.

Saya punya ide.

Bismillah…

Hhh.. saya menarik nafas dalam. Saya mengambil keputusan .

Ma…Kelak, Saya tidak akan keberatan dengan lagu-lagu idola mama itu. Mau di putar semua koleksi dalam waktu sehariaan pun tidak masalah. Saya tidak akan bawel lagi Demi kebahagiaan mama.

Atau jika nantinya lagu-lagu mama itu dengan keadaan sama seperti saat ini. Suer,!! Ma… saya tidak keberatan menjadi teman mama yang baik untuk mendengarkannya bersama mama.

Asal…yang menyanyikannya Afgha.

Serius, Ma…saya angkat bendera putih .

Ma… kita damai !!!

Baturaja, 23 juli 2008 / 15:37 wib

Thanks : Ma, adik-adikku, dan mbak Rien

1 komentar:

  1. bagus gus gus....
    beneran nih udah damai ma mamah
    ntar keriting kuping kribo rambut lagi loh.....

    by. aa iban

    BalasHapus