Selasa, 22 Maret 2016

Di balik sebuah naskah ada kisah !



Jangan buang naskahmu di tong sampah. Itulah saranku yang seharusnya dilakukan setiap penulis pemula. Dan menurutku penulis juga harus punya tingkat kesabaran yang tinggi, intinya harus bisa bersabar. Saat kita merasa naskah itu tidak bagus, ejaan masih berantakan, pemakaian diksi belum tepat dan bisa dikatakan naskah belum layak. Maka jangan buru-buru di buang. Setiap naskah punya hak untuk di publis dan di baca orang banyak. Diluar penulis punya pertanggung jawaban dari setiap apa yang mereka tulis.  


Jangan malu. Sambil terus belajar mengasah keterampilan menulis. Kita punya kesempatan untuk memperbaiki tulisan-tulisan itu. Karena bisa jadi naskah yang mungkin terlanjur teronggok di dalam tong sampah menjadi basah, rusak karena kuranganya rasa sabar kita. Bisa jadi suatu saat akan di baca orang. Dan yang terpenting adalah jangan patah semangat.  


Kita harus terus memupuk semangat untuk terus menulis. Mungkin nanti akan ada masa kita merasa jengah dan bosan karena kuranganya kesabaran kita berperoses, mengeluhkan keterbatasan kemampuan kita. Namun tetaplah optimis. Karena apa jadinya jika penulis jika tidak menulis. Sama halnya koki yang tidak memasak.  


Seperti itulah pengalaman naskah-naskahku di dalam kumcer “saat cinta menunggu jawaban”. Ada enam naskahku di sana. Jika harus di bandingkan dengan teman duetku, tentunya bisa teman-teman lihat. Kami bak ibu dan anak baik dalam kematangan menulis dan gaya kepenulisan. Itulah warna. Semakin bervariasi maka semakin indah.

 Meski terkesan naskahku ada yang kurang rapi, yah… cukuplah. Karena naskah-naskahku memang belum diedit dengan sempurna bahkan ada dua cerpen yang sama sekali belum teredit sama sekali karena buru-buru dikirim. Ternyata terpending cetak selama dua tahun. Kalau tahu dua tahun, lumayan dipakai buat ngedit naskah selama itu, bisa di bayangkan perfect-nya naskah-naskah itu.  
Itulah naskah-naskah lamaku yang di buang sayang. Aku menyebutnya naskah jadul. Tapi, cukup terhibur saat beberapa pembaca untuk sementara ini yang tak lain dan tak bukan kebanyakan adalah teman dan orang-orang ku kenal. Ada yang memberikan masukan yang cukup membangun semangat terselip dari komentar mereka di setiap naskah-naskah itu. Membuatku tersenyum-senyum geli. Terimakasih atas apresiasinya, kawan. Nanti kusuguhkan naskah yang lebih baik lagi.  

Pengalaman berharga lainnya, tulislah naskahmu dengan sempurna minimal baik sebelum di kirim untuk di cetak. Karena pengalaman sebelumnya meski baru sedikit karya dimuat di media atau menang saat di lombakan naskah itu tidak dalam tergesa-gesa.  

Selain itu di balik setiap naskah selalu ada kisahnya. Setiap naskah ada cerita sebuah perjalan di balik pembuatannya. Dari proses kreatif dimulai menciptakan ide, inspirasi yang kita peroleh baik dari apa yang kita rasakan, kita lihat dan kita dengar, berlanjut pada proses mengkonsep ide dan inspirasi itu dengan baik, di lumuri imajinasi dan pengemasan hingga siap menjadi naskah yang memiliki rasa dan perasaan, aku menyebutnya naskah itu sudah memiliki ruh sehingga naskah itu bisa hidup dan memiliki kehidupannya sendiri.

   Dari situ aku selalu belajar untuk mengahargai setiap naskah atau tulisan yang aku baca. Proses panjang mengingatkanku untuk selalu berusaha menghargai tulisan dari semua penulis dan semua jenis tulisan.   

Menulislah kawan, berkarya tidak hanya hak dari mereka yang menyandang predikat seniman atau penulis hebat dan yang sudah terkenal saja. Kita semua punya hak yang sama. Dengan menuliskan apa yang ada di pikiran kita, menuliskan kisah kita maka, kita sedang menciptakan sebuah karya. 

Seseorang yang bisa dikatakan penulis bukan saja dilihat eloknya apa yang ia sampaikan pada tulisannya, melainkan sejatinya penulis adalah seseorang yang mampu atau berhasil menyelesaikan tulisannya.

Salam pena. Salam karya.

Lena Munzar. Baturaja, 22 Maret 2016/00.00 wib.

Belajar Move On





Ceritanya nih, Lena Munzar sedang berusaha untuk Move On dari rasa sedih dan patah hatinya. Bukan karena Ikhwan, ya. Melainkan dari “musibah” beberapa bulan yang lalu. Dan sekarang baru mulai menulis lagi.
Bisa dikatakan setahun menghilang, naik gunung. Meski berkali-kali gagal bersembunyi. Baru “turun gunung” kalau ada panggilan darurat buat kalangan. Semua itu buat menyelesaikan tulisan yang sedang seru-serunya untuk di tuliskan. (sekarang sedikit Pe-de, ngaku penulis)
Sepertinya beginilah kurang lebih seperti kata pepatah, Cinta tak dapat dihindari, musibah tak dapat di tolak dan untung tak dapat di raih.  (jangan di tanya itu pepatah siapa?) Hehee… Dua naskah terhapus permanent dari flashdisk saat sedang merapikan naskah. Merasa naskah yang di tulis menuju final. Jadi, naskah yang berganda-ganda di coba untuk di buang. Bersih. Tinggalah satu naskah rapi di flashdisk. Setelah naskah itu rapi pas proses nge-cut mau di pindahkan dari flashdisk ke laptop. Tiba-tiba laptopnya ngeheng. Akibat tanpa koordinasi yang benar dan tepat dari kecepatan instruksi otak dan keterampilan tangan si Lena Munzar tidak mampu diimbangi dengan kemampuan kerja teknologi.
Oh, No!
Diluar kemauan dan dugaan. Naskahku hilang…. Hiks…hiks.
Menangislah Lena Munzar di tengah malam. Asli beneran menangis semalam Seorang Lena Munzar di malam itu.
Mendadak seperti di serang panic attack. Meski mencoba untuk tenang. Tetap saja. Cemas dan sedih jadi satu. Segala usaha telah di coba, baik itu memanggil data, bolak balik cek Recycle Bin siapa tau ada keajaiban. Namun hasilnya tetap sama. Hilang. Kesal hati ku format sekalian. Lega?  Tentu saja tidak. Tetap sedih dong. Yang jelas hati semakin menjadi sedih.
Bersamaan itu pula Hape rusak. Dan belum berniat untuk diperbaiki atau beli baru. Alasan lain di balik itu ada sebelas naskah cerita dodol dari pengalaman pribadi seorang Lena Munzar yang coba ku tuliskan. Lenyap bersamaan dengan rusaknya Hape.
Memang selama ini kurang lebih tiga tahun. Seingatku hape itu tidak ada masalah berarti dan sama sekali belum pernah di install ulang. Mungkin sudah waktunya. Sudah di coba buka kartu memori. Siapa tahu tersimpan di kartu memori. Hasilnya tetap sama, Tidak tersave di kartu memori. Karena aku biasa menulisnya di badan untuk menulis email. Itulah sebabnya Sampai sekarang hape belum diinstal ulang. Siapa tau ada keajaiban di dalam kemustahilan. Jadi yang bolak-balik nanya pin. Jangan ngambek ya…
Mau di tulis ulang? Setahun Bro nulisnya. Lagi pula tulisan kedua atau mengulang menulis jelas berbeda dengan saat kita menulis pertama. Kalau tulisan pertama kita menulisnya dengan pemikiran yang dalam, dengan konsep matang di bubuhi dengan segenap perasaan jiwa dan raga serta ada ruh di dalamnya (lebay. Hihi… Maklum kebanyakan nonton Otan) Kalau tulisan ngulang? Ya, tau dong. Namanya juga ngulang. Mengulang ingatan. Tentunya tidaklah sama lagi rasanya.
Besoknya. Hati masih bersedih dan bermaksud curhat eh, malah di marahi lagi sama si master Te-Pe. Itu si Kim Nana alias Anita Tarmizi. “Apo guno punyo kawan master Te-Pe, yuk”. Semprotnya geregetan plus nada geram.
Degh. Pas banget kena di hatiku.
Alamak, sudah jatuh dimarahi pula.
Mau tidak mau hati harus mengikhlaskan menghilangnya dua naskah itu. Satu naskah novel yang sudah 80 persen hampir selesai. Dan satu naskah catatan dodol pengalaman pribadi Lena Munzar.
Anggap saja sedang menghibur hati, semua itu kuanggap pelajaran berharga. Padahal sejauh ini aku tipe pribadi yang antisipasi sangat tinggi. Selalu ada cadangan. Buku-buku yang favorit saja selalu beli dua, cadangan kalau di pinjam teman yang tipe pembaca yang baik susah mengembalikan buku.
Jadi ingat pesan bondan: ya sudahlah
Buat mimpi baru, semangat !