Senin, 01 April 2013

Drama



DRAMA


Jika saya mendengar kata “drama”. Ada banyak hal yang berkecamuk dalam pikiran saya. Saya jadi kembali teringat dengan keinginan dan obsesi saya beberapa tahun yang lalu. Ingin sekali bermain peran dan terlibat langsung dalam proses kreatif dan produksinya. Sebuah impian yang gila mungkin, tapi sungguh hal ini memang pernah terlintas. Tentang sebuah keinginan, suatu saat nanti bersama dengan teman-teman saya dapat menghasilkan karya yang bermanfaat.
Bahkan sampai merambat pada cita-cita ingin membuat film indie, mengangkat budaya melayu dan budaya lokal juga manambah daftar panjang dari impian yang terkesan sangat lucu. Keinginan saya yang paling konyol dan sangat gila adalah suatu saat nanti saya bisa bermain Teater di Taman Ismail Marzuki. Dengan drama kolosal atau musical juga boleh. Bersama dengan orang-orang hebat tentunya. Hm… Mimpi gratis kan? Aamiin.
Ada banyak hal kegilaan yang ada pada diri saya. Salah satunya adalah kegilaan saya  mengoleksi banyak buku dan film dari banyak genre. Inilah yang membuat saya seringkali “teracuni dan mabuk” dan terus-terusan haus, sulit untuk melepaskan diri.
Menurut saya, dunia kepenulisan, buku dan film sangat berkaitan erat. Bahkan saling mendukung. Ada banyak film yang mengangkat kisah dari buku ,juga sebaliknya. Dua kegiatan ini tidak dapat terlepas dari proses penuangan ide kreatif yang dengan memanfaatkan media tulisan.
Mengenai drama saya jadi teringat dua tokoh yang saya kenal lewat buku dan film, mereka sepertinya sangat akrab dengan drama. Tokoh pertama dari barat. Aldolf Hitler. Dari buku The Escape karya Rizki Ridyasmara yang pernah saya baca, mengulas banyak penemuan fakta-fakta baru tentang Hitler, ada sebuah kesaksian yang membuat saya sangat tertarik. Dalam buku itu ada sebuah pengakuan teman satu kamar Hitler ketika bersama di 29 Stumpergase, Wina, bernama August Kubizek mahasiswa akademik musik ini bersaksi, jika Hitler tidak bekerja dengan serius, tidak kuliah dan kerjanya hanya menonton opera Richard Wagner dan Lohengrin. Bahkan, Hitler mampu menonton opera berjudul “Tristan” karya Wagner sebanyak empat puluh kali dan opera “Libertto’nya Lohengrin sebanyak empat puluh kali.
Sulit sekali membayangkan seorang pemimpin NAZI yang dikenal sebagai pemimpin Diktator dan sangat kejam ini, yang telah melenyapkan banyak nyawa dan meninggalkan sisa kekejamannya di beberapa tempat yang pernah menjadi korban kekejamannya ini ternyata seorang pemuda yang suka sekali menonton drama. Tapi inilah faktanya.
Satu lagi tokoh dari tanah air kita yang awalnya saya kenal dari sebuah film di tahun 2008 lalu, tokoh yang diperankan sangat apik oleh Nicholas Saputra. Saya pernah  menyempatkan nonton film ini meski tidak sampai selesai karena mendekati jadwal keberangkatan saya ke Depok dan mampir ke Fakultas sastra jepang UI, untuk mengikuti serangakaian kegiatan Silaturahmi Nasional bertemu dengan banyak penulis se-Indonesia dari forum kepenulisan yang saya ikuti, membekas sebuah kenangan indah saat bekesempatan langsung bertemu dengan Taufik Ismail.
Film yang diangkat dari buku memoar kisah perjalanan seorang aktivis di era tahun 1960-an. Seorang aktivis Fakultas Sastra lahir dari dunia kepenulisan menjadi salah satu orang yang menyebabkan tumbangnya rezim Orla dari hasil pemikiran dan tulisan-tulisannya yang tersebar di banyak media.
Pernah dengar tentang “Catatan seorang demonstran” yang masih dijadikan sebagai inspirator dari banyak mahasiswa hingga sekarang, dan masih terus menjadi topik diskusi menarik yang dilakukan oleh kalangan mahasiswa. Ya, siapa lagi kalau bukan Soe Hok gie.
Gie dengan teman-temannya selain aktif di kegiatan Mapala-nya, mereka sering mengadakan aksi nonton bareng pertunjukan teater rakyat, memutar film dan kemudian berdiskusi. Gie sosok yang menarik bagi saya. Selain pernah merasa satu nasib untuk hal-hal tertentu dan juga tentunya banyak yang menginspirasi saya untuk terus tetap menulis.
Menyimak kisah perjuangan Gie, membuat saya sangat malu selama menjadi mahasiswa. Sungguh saya sangat malu menjadi mahasiswa. Karena masih ada banyak hal yang belum mampu saya lakukan. Dan mungkin saya belum melakukan apa-apa.
Jujur sampai sekarang saya masih sering memutar film semi documenter ini berulang-ulang. Kalau mau dibandingkan dengan trek record yang di raih Hitler tadi mungkin saya akan menjadi pemenangnya mengungguli Hitler. Film yang membuat saya harus banyak mempelajari sejarah, film yang isinya sangat padat. Butuh konsentrasi dan penalaran tingkat tinggi selama proses mononton film ini.
Pikiran “nakal” saya muncul. Apakah kedua tokoh yang berpengaruh dan  berprestasi di bidangnya masing-masing ini, ada factor yang mempengaruhi yang berkaitan dengan drama?. Dengan melalui proses analisis dan deef thinking-kah?. Analisis hipotesis saya sepertinya begitu.  Jika benar demikian sungguh sangat menakjubkan berangkat dari hobi dan kebiasaan, bisa membentuk manjadi tokoh seperti mereka. Wow… !
Bagaimana dengan team kreatif yang berhasil memproduksi karya yang telah berhasil membentuk kedua tokoh yang bagi saya sama hebatnya ini? Kalau yang menikmati hasilnya saja bisa menjadi orang yang begitu hebat, bagaimana dengan mereka yang berhasil membuat karya tersebut tentunya harus jauh lebih hebat lagi dong !.
Tentunya ada banyak tokoh-tokoh hebat yang dapat dijadikan inspirasi bagi kita generasi hijau untuk terus semangat berkarya. Harus mampu balajar dari tokoh-tokoh hebat yang berada di balik layar sebagai team kreatif. Ada banyak nama yang kita kenal Seperti W.S Rendra dan Putu Wijaya dan masih banyak lagi sebagai bukti nyata.
So, semangatlah kawan untuk berkarya dalam bidang apapun. Lakukanlah yang terbaik. Semoga dengan kesempatan ini kita bisa menciptakan karya yang baik dan menjadi bagian orang-orang yang dapat meninggalkan warisan yang bermanfaat. Sebuah catatan sejarah , sebuah peninggalan bahwa kita pernah menjadi sosok yang berharga semasa hidup kita. Raga memang bisa mati tapi jiwa yang meninggalkan karya tidak akan pernah mati. Ia akan terus hidup.
  Salam semangat. Semoga bumi kita menjadi lebih indah. 

Baturaja,  Senin, 01 April 2013

Senin, 25 Februari 2013

Cerpen Suami Romantis



Suami Romantis
Oleh: Dian Yasmina Fajri


Aku berdiri di depan kalender. Beberapa hari lagi kami akan melewati tanggal istimewa. Tahun perkawinan kami yang kelima.
Seingatku kami jarang bertengkar. Kalau bukan aku duluan yang cari gara-gara, sepertinya kami tak akan pernah bertengkar. Penyebabnya pun bisa masalah sepele yang bagiku kadang sangat menjengkelkan. Aku bisa menerimanya dengan lapang dada kalau sedang cuek, tapi kalai keimananku lagi tipis aku bisa uring-uringan karenanya.
Suamiku tidak romantis. Dia kadang nggak ngeh dengan apa yang aku mau. Padahal menurutku, dari bahasa tubuh saja seharusnya dia bisa menangkap keinginanku. Orangnya cuek bebek, walupun selera humornya oke juga hingga kadang kami sering melewati hari dengan kelucuan-kelucuan yang menyegarkan. Misalnya, dia tak malu mengajakku berjoget kalau kebetulan mendengarkan iklan Syarmila di televise. Gayanya dengan jempol ketemu jempol dengan mata dimerem-meremkan kadang membuatku tertawa sampai sakit perut. Soalnya aku pada saat yang sama kadang suka membayangkan bagaimana berwibawanya dia di tempatnya bekerja. Oh, ya, suamiku bekerja di bagian personalia sebuah pabrik sebagai pemimpin yang membawahi ratusan buruh. Dia juga kerap mengisi pengajian bapak-bapak di masjid tempat kami tinggal.
“Aku bilangin bapak-bapak pengajian baru tahu rasa lho!” godaku mencandainya.
“Alaah, kamu juga, di data dulu katanya pendiam, tahunya cerewetnya ‘nggak tahaaaan’!” balasnya menirukan sebuah iklan.
Ia mengungkit data waktu kami taaruf dulu. Kami menikah tanpa pacaran, tapi dikenalkan oleh teman. Teman yang jadi mak comblang itu bilang padanya kalau aku pendiam. Kenyataanya aku memang pendiam kalau sedang tidur. Tapi kalau dia begitu, ya… terpaksa aku jadi cerewet.
Jam delapan malam saat kepulangannya dari kantor, dia duduk di bangku kesayangannya. Aku mengambilkan the dan makanan kecil, lalu kai saling betukar cerita tentang kejadian yang kami alami seharian tadi. Kadang kalau ana-anak sudah tidur, kami bisa mengobrol sampai setengah sebelas malam atau lebih malam lagi.
“Mandi dulu, Yang!” kataku entah untuk yang keberapa kali di sela-sela obrolan kami
“Apakah harus?”
“Iya lah, kamu berdebu begitu!”
“Ck… ck, Ibu-ibu… mandi itu harus ada sebab-sebabnya!” jawabnya nakal.
“Sebabnya udah jelas… kamu bau bus dan berdebu begitu,” jawabku sambil menutup hidung pura-pura sangat terganggu.
“Ee.. Ingat… kiat-kiat menjaga kulit… Satu, mandi jika ada sebab yang mewajibkan. Dua, banyak bergerak, agar banyak keluar keringat. Tiga, keringat tak usah dilap. Empat, jangan mandi sebelum gatal…!”
Aku jadi tetawa mendengar alasannya. Herannya kulitnya memang dari sononya bening dan bersih. Wajahnya mulus tak pernah jerawatan.
Pernah jerawat menyerang wajahku dan membuatku sebal. Aku pun Tanya padanya. “Yang, ngilangin jerawat gimana sih? Kok kamu nggak pernah jerawatan?”
“Makanya Bu, jangan sering-sering mandi. Kamu sih, habis masak mandi, habis jalan-jalan pagi mandi, kepipisan adik mandi…. Kebanyakan mandi nanti kamu mentik kayak tumbuhan!” jawabnya konyol. Aku terkikik karena dalam pikiranku terbayang biji kacang hijau yang tiap hari disiram hingga mentik jadi toge. Ah, si sayang memang selalu ada-ada aja! Tapi aku segera tersadar dari lamunanku dan teriak.
“Udah… udah…! Mandi dulu, pokoknya aku nggak mau nyiapin nasi kalau Mas belum mandi,” kataku mengingat kebiasaannya tak mau makan kalau bukan aku yang nyendokin ke piring dan menyiapkan semuanya. Manja!
“Gimana aku mau mandi kalau ada bidadari cantik yang menahan langkahku?”
“Ngegombalnya nanti aja!” Aku mendelik, dan dia nyengir bandel lalu segera mengambil handuk dan baju santainya yang dari tadi sudah aku siapkan.
Ketika ia mandi aku menyiapkan makanannya. Beberapa saat kemudian dia keluar dan melemparkan handuk basah ke atas tempat tidur.
“Mas…!” ujarku sambil melirik handuknya.
“Sorry… sorry, Neeeng. Lupa…” ujarnya sambil cengar-cengir, “Cerewet” bisiknya sambil menggantung handuk di tempatnya dan membuatku mendelik. Ia cuma tertawa.
Begitulah, tak ada yang jelek pada tingkahnya. Dia selalu nyantai saja kalau diprotes ketidakdisiplinnya menaruh handuk, buku, sepatu, sabun mandi, dan lain-lain. Aku juga tak mempedulikannya benar kalau sedang menggebu sayang dan kangenku padanya. Tapi kalau kebetulan sedang bad mood, hal kecil itu bisa juga membuat kami diam-diaman.
Seperti pagi itu, kami berangkat kantor bareng. Senang rasanya bisa bergandengan sepanjang jalan menuju terminal sebelum berganti kendaraan ke kantor masing-masing, apalagi kami jarang bisa bersma. Pulang kerja paling cepat pukul delapan malam ia sampai rumah. Kalau ada kegiatan ekstra seperti Rohis kantor, karang taruna di lingkungan kami, tugas keluar kota, atau mengisi pengajian, kami jarang bisa bersama dalam waktu yang agak lama. Karea itu, kami senang bisa berangkat bareng ke kantor.
Tapi begitulah, hari itu rasanya menjengkelkan sekali. Sedang enak-enaknya jalan bergandengan di tepi trotoar menunggu bus lewat, tiba-tiba busnya datang duluan.
“Bu… Bu, tuh busku datang, yok…” Terburu-buru ia mengejar Patas AC yang memang langka dan selalu penuh itu. Hup, dia melompat ke dalam bus dan meninggalkanku sendirian di jalan. Sebal! Nggak ada basa-basinya. Salam dulu kek, beri aku kesempatan mencium tangannya kek, atau bilang ‘Aku duluan, ya Yang, hati-hati di jalan,’ gitu… Kayak di film-film. Ini, mah… boro-boro. Sebal, rutukku kesal.
Rasa kesalku akhirnya merambat ke hal-hal lain. Seingatku ia pernah mengantar aku belanja ke swalayan seperti yang dilakukan para suami teman-temanku. Tapi coba dia bilang apa, ketika aku minta diantar? “Kamu kan punya kaki, jalanlah sendiri. Tugasku lagi banyak! Tak usah manja. Ingat muslimah harus tegar, siap berjihad fi syara wa dhara!”
Auk ah gelap! Sebeeeeeeellll!!! Cibirku dalam hati. Aku memang bisa jalan sendiri, tapi kan sekali-kali bolehlah manja. Dia itu kalau aku lahi ingin kolokan kadang masa bodo terus.
“Mas, kepalalku pusing nih!” kataku dengan memelas, menyilakannya untuk memijit kepalaku atau apalah biar aku bisa sedikit manja padanya.
Dia Cuma jawab, “Oh, pusing. Minum obat sana!” katanya tetap menekuri buku yang dibacanya.
Huuuh bĂȘte! Aku pun jadi cemberut semalaman tapi dia tetap tak sadar. Setelah matanya sepet karena membaca, ia menguap lebar lalu mencium keningku yang sedang cemberut di sampingnya lalu mendengkur tidur. Hiiih… gak liat apa aku udah pasang muka ditekuk begitu? Kan capek, hargain sedikit dong! Sebal!
Pernah suatu saat dia bertugas keluar kota. Aku mengantarnya sampai stasiun kereta berharap bisa bercakap melepas kangen sebelum berpisah. Namun, di stasiun dia bertemu dengan kawannya waktu kuliah dulu. Ngobrol lama sekali. Aku ikut mengobrol karena tak tahu topic pembicaraan anak teknik industry, dan ia laki-laki, lagipula suamiku lupa mengenalkan temannya itu padaku. Aku Cuma bisa berdiri menunggu jadi kambing congek. Setelah sekitar empat puluh menit, percakapan itu baru selesai. Itupun karena kereta ArgoBromo datang dan ia tergesa-gesa mengangkat barang-barangnya.
“Bu… aku berangkat, ya, hati-hati di rumah!”
Aku Cuma menatap kepergiannya dengan doa. Semoga selamat pulang dan pergi. Tapi dasar suamiku cuek. Tiga hari di luar kota, tak member kabar apapun. Telepon kek, kalau sudah sampai atau kasih tahu kami dimana dia menginap. Apa dia sehat-sehat saja? Pikiranku jadi macam-macam. Jangan-jangan dia tidak sampai? Jangan-jangan ada penjahat yang menodongnya lalu ia terluka, berdarah-darah dan masuk rumah sakit? Atau dia mengalami kecelakaan, ketabrak truk waktu hendak menyeberang, terkapar sendirian, tewas mengenaskan, tak ada saudara yang tahu, dan aku… aku jadi janda…. Lalu bagaimana dengan dua anakku yang masih kecil-kecil itu. Akhirnya aku menangis di depan anak-anakku yang tengah terlelap tidur. ‘Kalian akan jadi yatim, Nak!’ bisikku pilu.
Aku pun merancang-rancang rencana kalau suamiku benar-benar mati. Mungkin aku akan jualan gado-gado, atau menitipkan kue-kue ke toko-toko untuk menunjang gaji kantorku yang tidak begitu besar. Tiba-tiba pikiranku melompat. Atau jangan-jangan dia sudah punya istri baru disana, jadi lupa meneleponku. Hatiku jadi cemburu tak karuan. Teganya si Mas. Mas, awas saja kalau sampai begitu, aku nggak relaaaaaa…!!!
Selama itu aku jadi salah tingkah, cemas, sehingga tidak punya nafsu makan dan tak bisa tidur karena memikirkannya. Aku berusaha banyak shalat dan membaca Al Qur’an, tapi pikiranku tak khusyuk, mengembara kemana-mana.
Tiga hari kemudian dia datang dengan tas besarnya yang berisi pakaian kotor dan beberapa tas oleh-oleh.
“Assalamu’alaykum!”
Ia merangkul anak-anaknya dengan sepenuh kangen. Diam-diam aku memandanginya menyelidiki kalau-kalau memang dia punya affair, tapi tingkahnya tak mencurigakan kecuali kalau dia actor yang bisa beracting luar biasa. Ketika ia mengungkapkan kekangenannya padaku, kedengarannya sangat tulus, tak dibuat-buat. Hilang sudah prasangkaku, walaupun setelah ia istirahat aku tumpahkan juga unek-unekku atas kelalaiannya menelepon.
“Ya, ampun… Bu…Bu, makanya jangan kebanyakan nonton sinetron! Jadi emosional begitu!”
Dia malah tertawa mendengar kekhawatiranku yang berlebuhan. “Kalau aku meninggal, kawin aja lagi, repot amat… kamu masih muda dan cantik!” katanya di sela tawa.
Aku malah tambah sewot.
“Memangnya kamu pikir aku mudah gonta-ganti pasangan? Aku tuh tipe wanita setia tau? Kalau sudah satu, satu selamanya untuk seumur hidup! Lagian apa susahnya ngangkat telpon, kasih kabar kamu dimana, lagi ngapain…” Aku nyap-nyap nggak karuan, mengungkit semuanya.
Mungkin karena masih capek dari luar kota, dia dengan sukses mendengkur tak mempedulikan omelanku.
“Hai, jangan tidur dulu, aku belum puas ngomelnya!” kataku mengguncang-guncang badannya tapi dengkurannya malah tambah keras.
Besoknya habis shalat shubuh berjamaah, aku menekuk mukaku sampai saat sarapan. Rupanya dia juga kesal dengan sikapku. Kami jadi diam-diaman dan berangkat kantor sendiri-sendiri. Tapi tengah hari ia menelepon ke kantorku meminta maaf.
Malam harinya dia bilang, “Jangan berantem lagi ya Bu? Capek!”
Aku mengiyakan. Iya lah. Memangnya cemberut terus gak capek? Mana sedang kangen lagi!
Sejak saat itu, ia memang agak mendingan. Kalau mau pulang kemalaman, dia telepon dulu member kabar, menyuruhku makan malam duluan. Tapi itu tak berlangsung lama. Kalau tak diingatkan, kebiasaan cueknya suka kembali.
Memang sudah cetakannya begitu kali. Dengan saudara-saudaranya juga begitu. Ia tak pernah telepon kalau aku tak mengingatkannya. Aku maklum, memang hubungan persaudaraan mereka agak kaku, tidak heboh seperti hubunganku dengan kakak dan adik-adikku. Bahkan ketika aku suruh dia menelepon ibunya minimal seminggu sekali, ia malah bilang, ‘ngomongin apa, ya?’ Padahal aku sendiri dalam seminggu paling tidak menghabiskan sejam dua jam untuk menelepon ortu, mertua, dan saudara-saudara.
Mengingat sifatnya memang cuek, aku tak menekuk mukaku ketika ia pulang menjelang pukul setengah sebelas. Biasa, habis ngisi pengajian. Aku menyiapkan makan dan mengobrol dengan manis. Kami diskusi tentang buku yang baru dibacanya, kebetulan tentang komunikasi suami istri.
Aku arahkan pembicaraan ke tingkahnya yang membuatku kesal. Tapi aku tak mau to the point. Aku arahkan hal itu dengan bercerita tentang temen SMU-ku dulu. Rian dan Novi yang putus pacaran Cuma gara-gara tak dibukakan pintu mobil.
Alkisah, Novi sudah berdandan habis, berusaha secantik mungkin untuk nge-date, tapi Rian datang dengan jeans belel dan kaos oblong. Novi berjalan keluar laksana seorang putri. Ia berdiri menanti, sementara Rian langsung membuka mobil dan duduk di belakang kemudi. Novi sebenarnya menunggu dibukakan pintu, seperti yang biasa dilakukan para gentleman. Akan tetapi, Rian malah mengklakson mobilnya dengan tak sabar. Akhirnya mereka bertengkar. Besok pagi berita bahwa mereka putus telah tersebar ke seluruh penjuru sekolah. Novi bilang padaku bahwa dia capek jalan sama orang yang nggak ada romantic-romantisnya. Sedangkan Rian bilang, emangnya dia gak punya tangan buat buka pintu?
“Dulu aku heran, kok bisa-bisanya gara-gara nggak dibukain pintu mobil aja hubungan mereka jadi putus?” kataku pada suamiku yang mendengarkan sambil menikmati makanannya.
“Itu tandanya Allah masih sayang sama si Rian. Dia dijaga Allah biar nggak pacaran. Mungkin dia sekarang sudah insyaf. Mungkin dia udah jadi ustadz!”
“Iiih kamu salah ngambil ibrah!” selaku keki. Aku kan cerita begitu untuk menyindirnya.
“Aku ngomong begini sehubungan dengan … kamu kalau naik bus duluan. Mbok ya jangan ninggalin aku begitu aja. Salam dulu kek, basa-basi apa gitu… Ini sih teruuus aja lari. Habis manis sepah dibuang!”
“Duuuh si Eneeeng maraaaah!”
Aku terus saja menumpahkan kekesalanku tentang kecuekan dan ketidakromantisannya. Tentang seringnya aku member hadiah dasi, kemeja, dan memperhatikan pernak-pernik kebutuhannya, walaupun kukatakan itu memang uang gajinya. Tapi dia jarang memberiku hadiah. Sekalinya aku ulang tahun, aku diberi kado pisau Victorinox. Memang sih pisau itu sangat membantuku di dapur. Tapi kayaknya ngeri… dihadiahi pisau. Yang romantic dikit dong! Sampai dia tak pernah membelikan bunga untukku pun ikut kukeluhkan.
“ya ampun, say… aku kan sudah menyerahkan semua gajiku padamu, maksutnya biar kamu bisa beli bunga segerobak atau sesuka yang kamu mau!”
Aku terpaksa tertawa mendengar jawabannya. “dasar si Ayah… tak ada romantic-romantisnya. Kamu kan pegang kredit card dan ATM, jadi bisa belanja!” kataku di sela-sela rasa geli karena sifat cueknya yang memang tak dibuat-buat.
Sejak itu aku lebih maklum lagi dengan sifatnya. Kalau aku lagi merasa terganggu dengan sifatnya, aku mencoba mengingat-ingat segala kebaikannya. Perihal dia tak pernah marah, hamper selalu bermuka cerah di hadapanku, shalih dan rajin ibadah, tegas dan punya prinsip, cerdas dan enak diajak diskusi, dan yang paling penting sekali ia sangat mendukung serta memberikan kebebasan padaku untuk mengembangkan diri, sejauh itu bisa dipertanggungjawabkan.
Keesokan harinya ia membawa lima buag pot bunga mawar sepulang kerja.
“Say.. Say… ini aku belikan pohon mawar. Aku tidak membelikanmu bunga tapi pohon… biar kamu bisa memetik bunganya sepanjang hari. Sesering kamu suka.”
Aku tertawa haru. “Makasih ya Mas,” ujarku sambil menghadiahinya sun sayang. Minimal dia mulai ngeri apa keinginanku.
Sekarang kalau berangkat kerja bareng, ketika akan naik angkot, dia menyikakan aku naik duluan, dan ketika sampai, dia menungguku turun lebih dulu.
“Udah nyadar?” bisikki padanya sambil berjalan di sisinya.
“Ladies first! Aku kan banyak belajar dari kamu!” jawabnya kalem.
Ya memang sepanjang tahun perkawinan, kami terus belajar satu sama lain. Seperti tiap saat ada saja hal-hal unik dari dirinya yang baru kuketahui dan berusaha aku pahami.
Memsuki tahun kelima pernikahan kami, aku ingin menyiapkan sesuatu yang spesial untuk keluarga. Aku masak yang agak banyak dan istimewa, menyiapkan bunga segar dan lilin untuk candle light. Pagi-pagi sebelum subuh, aku mandi dn mulai memasak. Selesai shalat di masjid, suamiku membaca Al Qur’an kemudian tidur lagi. Sepertinya dia lupa pada tanggal istimewa kami. Dan memang dia jarang merasa istimewa pada tanggal-tanggal yang sebalikknya kuanggap istimewa.
Aku juga segan mengingatkan. Ia malah sibuk sendiri memilih baju untuk rapat pertemuan direksi. Ketika sarapan, aku singkirkan bunga segar dari meja makan dan menaruhnya di meja ruang tamu. Kami sarapan tanpa banyak cakap. Anak-anak pun tak rewel saat disuapi.
Aku menunggu ucapan selamatnya sampai kami menunggu angkot. Ternyata dia biasa saja sampai kami berpisah bus karena kantor kami lain jurusan. Ya… sudahlah, pikirku maklum.
Ketika sibuk-sibuknya menyelesaikan pekerjaan kantor, pukul setengah dua belas siang, ia nongol di ruanganku.
“Ada apa, Mas?” aku langsung berdiri menyambutnya.
“Dia tersenyum misterius. “Mau ngapain kamu rapi banget? Pakai jas dan dasi segala. Jangan cakep-cakep nanti cewek-cewek pada naksir!” sapaku heran.
“Kan tadi habis rapat. Udah, jangan cerewet. Nge-Lunch yuuuk!”
“Hah, makan siang? Kamu gak kerja?”
“kan hari ini kita ulang tahun pernikahan? Tumben kamu gak ingat?”
“Jadi Mas ingat? Dari tadi pagi?”
“Nggak sih..! Pas lagi ngomong-ngomong sama temanku, aku jadi ingat hari ini kita ulang tahun. Kebetulan aku habis ngantar big bos ke airport, terus ada urusan luar, dan masih ada waktu buat kita makan siang bersua. Ayoo kapan lagi?!”
Aku tertawa girang. “Wah, surprise dong? Aku minta ijin keluar sebentar… kalau-kalau nanti telat kembali ke kantor!”
“Aku sudah mintakan ijin. Kubilang ada urusan keluarga!” katanya berbisik sambil tersenyum.
Teman-teman kantor sibuk menggoda ketika aku jalan keluar dengannya.
“Gandengan nih yee!”
Pokoknya aku tersenyum terus sepanjang jalan. Happy berat. Apalagi dia bawa mobil kantor segala. Ketika aku mau buka pintu, ia buru-buru membukakan pintuku. Tambah surprise lagi ketika dia memberiku buket bunga mawar. Wow, hatiku turut berbunga-bunga.
Kami makan di restoran yang agak mewah.
“Bayar, say…!” katanya selesai kami makan.
“Bayar? Bukannya kamu yang traktir?” tanyaku terkejut.
“Aku nggak bawa uang. Kan ATM dan kredit card ada di kamu, kemarin kamu minta buat bayar telepon” katanya lagi.
“Aku nggak bawa. Tadi pagi kutaruh di lemari buku. Aku Cuma bawa uang pas untuk ongkos saja, lima puluh ribu… itupun udah dipakai buat bayar bus!” kataku bingung.
Aku memang jarang bawa uang tunai dalam jumlah banyak. Begitu juga suamiku.
“Wah, gimana nih?”
Ia malah tertawa-tawa geli. Aku ngomel-ngomel karena diajak makan tanpa periapan uang.
“Makanya Mas, jadi orang perhatian dikit!” Ujarku kesal.
“Tahu gini mending makan di warteg aja tadi!”
Ia malah semakin lebar tertawanya. Akhirnya ia menemui manajer restoran, menjelaskan semuanya dan meninggalkan KTP. Untung manajer itu mau menerima walaupun wajahnya agak curiga. Malunya itu lho, masak makan di resto dengan jaminan KTP.
“Sorry ya, Yang… He, tambahin ongkos dong..! Ungku habis buat beli bunga!” katanya lagi sambil mesam-mesem.
Aku tambah mendelik keki. Sekali lagi aku berusaha maklum. Memang sudah dari sana cetakannya begitu!. Pikirku sambil memandangnya gemas…
                                                                           ***

Senin, 21 Januari 2013

Puisi Lena Munzar

Aku Mencarimu Cinta



Aku mencarimu cinta...
Tanah retak kemarin telah kuguyur dengan hujan
Daun kering yang dulu terjatuh kembali tunas

Aku ingin menemukanmu cinta
Untuk menemaniku
Karena kuingin saat bersamamu Menghijaukan kembali tanah kita
Bumi yang kita tinggali bersama...
Dengan mereka yang pernah membuat pertiwi ini menangis...

Aku ingin bersamamu cinta
Kita akan buat bumi ini kembali indah
Bahagia bersama cinta dan kita...

Lena Munzar
Baturaja, 13 Januari 2013
đŸ“· by: google

puisi Lena Munzar


Cerpen: Nasi Bungkus Untuk Munah


                                                        Nasi Bungkus Untuk Munah 
                                                               Oleh Lena Munzar 


                                                              



Getir hati Inah saat memandangi wajah tirus yang semakain terlihat semakin kurus dan tampak pucat milik Munah adiknya.

Munah yang sedang tertidur di pangkuannya gelisah dan sesekali terdengar seperti merintih menahan rasa lapar. Ina semakin merasa bersalah. Merasa tak banyak yang dapat ia lakukan untuk sang adik yang terpaksa ikut merasakan pahitnya kehidupan.

“Lapah, lapah…Yuk. ” Rintih Munah.

Di bawah keremangan langit kota Baturaja. Di emperan toko yang menjulang. Menembok beton kawasan sepanjang jalan Pahlawan Kemarung. Perkembangan yang luar biasa cepatnya. Hanya dalam beberapa tahun saja Baturaja seperti kota yang tersulap. Pusat perbelanjaan yang mampu menjaga gengsi dan harga diri manusia sudah hadir di kota kecil ini. Sudah mulai terjadi perapian pedagang-pedagang kaki lima yang berjualan ngemper dengan lapak-lapak buluk mereka, sekarang tergusur mempercantik kota dengan dibuatnya taman kota, gedung olahraga, masjid megah yang cantik ada dua gedung-gedung pemerintahan bergaya khas Palembang menawan hati yang memandang.

Tapi, semua itu tidak untuk Inah dan Munah. Seperti malam ini, udara dingin menggigit perut mereka yang kosong. Menembus tulang-tulang rusuk siapa saja yang bermukim di sana.

Tak begitu jauh dari tempat mereka, banyak juga orang yang bernasib sama seperti mereka. Penghuni emperan.

“Oh, alangkah enak seandainya kita anak orang kaya. Punya rumah, pasti tidak kedinginan begini. Pastinya, Bisa beristirahat di kamar yang nyaman dan hangat. Andai kita punya duit, pasti sudah Ayuk belikan nasi bungkus buat kamu, Dek! Nasi campur kegemaranmu dengan lauk tempe goreng, sambal calok , dan secuil sayur. Satu bungkus nasi yang biasa kita nikmati berdua,” batinnya.

Wajahnya suram menatap ke arah jalan raya yang sudah mulai sepi dari lalu lalang kendaraan. Yang tampak hanya mamang-mamang becak yang mangkal ditemani dengan kepulan asap rokok mereka.

Ia bersandar pada dinding yang dingin. Hanya terdiam menatap sayu ke arah adiknya yang sedang tertidur sebelum pandangannya kembali menatap kearah jalan. Dalam pekat malam hanya ditemani rintik-rintik rinai hujan.

Ia pun merasakan rintik-rintik di hatinya yang lagi-lagi merenungi nasibnya.

“Ah, apa gunannya kalau hanya merintih saja. Apa akan membawa perubahan,” batinnya bertanya.

Sudah dua hari ini sebenarnya perut mereka berdua belum sedikitpun tersentuh nasi.

***

Seharian mereka sudah bolak-balik menyusuri Pasar Pucuk berharap akan dapat sesuatu yang dapat mengganjal perut mereka. Dengan sempoyongan mereka terus berjalan. Tangan Inah selalu menggengam erat tangan Munah, berjalan beriringan.

Pemandangan yang mengagumkan dan menyedihkan. Sebuah bentuk kasih sayang dua insan anak manusia yang benasib malang yang sedang berjuang keras mempertahankan hidup. Berjuang untuk hidup. Hidup memang sulit. Tapi tidak untuk disesali.

Mereka melewati beberapa rumah makan berharap ada yang berbaik hati menawari sisa-sisa makanan yang terbuang mubazir. Makanan sisa orang-orang berduit.
Tapi itu hanya harapan yang sia. Jangankan untuk sebuah tawaran, malah mereka mendapatkan perlakuan yang kasar dari pemilik rumah makan. Mereka dianggap menjijikan. Merusak pemandangan. Seolah-olah kehadiran mereka akan menimbulkan perubahan cita rasa dan warna pada masakan mereka. Sedangkan orang-orang yang ada di dalam dengan perut buncit mereka dengan makanan yang berlimpah itu sama sekali tidak memperdulikan mereka. Mungkin diantara mereka berpikiran I don’t care!

***

Dengan mata berkabut Inah menarik tangan Munah yang terjatuh oleh dorongan kasar pemilik rumah makan yang mengusir mereka. Dibantunya adiknya Munah untuk berdiri. Dibimbingnya untuk cepat menyingkir dari tempat itu.

Sepanjang perjalanan di emperan, mereka sama sekali tidak menemuan apa pun. Mereka berdua sama-sama terdiam tak mampu mengucapkan kata-kata lagi. Hati mereka sedih. Mengapa mereka harus meresakan penderitaan ini. Sedangkan di dunia ini banyak orang yang mungkin sedang merasakan bahagia.

Mereka tidak tahu lagi harus kemana.
Atau pulang saja?
Pulang?

Nak balek kemane agi? Sedang mereka sudah tidak punya tempat tinggal lagi. Dan mungkin rumah petak yang mereka tinggali bersama keluarga utuh sebelum mereka tercerai berai. Walau dulu tinggal di kontrakan kecil, mereka sempat bahagia, layaknya seperti keluarga lain. Hangat. Tapi, sekarang tidak ada lagi rumah yang dijadikan untuk tempat tinggal. Dapur emak sudah lama sekali tidak mengepul asapnya. Atau tudung nasi yang tidak berpenghuni.

Dulu, mereka sempat mencoba untuk pulang. mendapatkan perlakuan kasar. Diusir dari yang punya kontrakan dan mereka medapatkan cacian, Sumpah serapah, bahkan ancaman dari para rentenir yang menagih hutangnya pada emak. Hutang yang ditinggalkan umak . Hutang yang tak pernah dan tak sanggup emak untuk membayarnya. Dan mereka berdua tak berani lagi berharap pulang ke rumah. Rumah mereka sekarang adalah gerobak kumuh punya Aba dulu. Rumah yang bias di bawa kemana-mana. Pada saat sedang berjalan-jalan santai, dan melihat gadis kecil yang kesusahan mendorong gerobak yang sepantasnya disebut gerobak sampah. Gerobak itu ukuranya lebih besar dari ukuran tubuh yang mendorongnya, dan di dalam gerobak ada anak kecil. Jika siang hari gerobak itu akan terlihat tertutup separuh dengan kain yang sudah kumal. Berharap penghuni di dalamnya tidak terlalu kepanasan oleh sengatan matahari. Itulah mereka, Inah dan Munah dengan harta mereka satu-satunya gerobak peninggalan Aba.

Aba? Aba belum pulang.

Aba pergi merantau mencari pekerjaan. Mereka selalu berharap aba pulang dengan membawa banyak uang. Kalau di Baturaja, kota kecil ini tidak akan bisa merubah hidup mereka. Dan pasti hanya akan seperti itu-itu saja.

Sebelumnya, berbagai macam pekerjaan, serabutan telah dilakoni Aba. Mulai dari calo terminal. Tentu saja Aba tak mendapatkan banyak uang. Aba tidak mendapatkan banyak uang karena calo-calo di terminal sudah banyak dan sudah di beking oleh sopir-sopir yang rata-rata sudah punya langganan mereka sendiri. Mereka yang sudah lama jadi penghuni terminal Pasar Baru.

Pernah juga Aba jadi kuli angkut barang Toko Ahong. Tapi, upahnya kecil sekali. Terkadang tak cukup untuk mencukupi kebutuhan biaya hidup mereka sehari-hari. Sedangkan pekerjaan yang harus dikerjakan Aba banyak mengeluarkan tenaga. Mengangkat kardus-kardus yang berat. Bukan hanya kardus-kardus berat, derigen minyak sayur, berkarung-karung beras, gula, dan gandum.
Dan pernah Aba melakukan kesalahan, tidak sengaja Abah pernah menjatuhkan derigen minyak sayur, tumpah meluber ke mana-mana. Upah Abah dipotong seharga jual minyak sayur. Habislah semua upah Abah. Bukan hanya itu Abah lalu dipecat.

Pernah juga Abah berniat menjual rokok asongan. Tapi, itu butuh modal. Walaupun bisa dicoba dengan modal yang kecil. Tapi, tetap saja tidak bisa. Tidak cukup.

Tidak hanya itu. Utang Umak di warung sudah sangat menumpuk. Umak sampai malu kalau harus terus-terusan ngutang.

Akhirnya dengan modal nekat, Aba pergi ke kota cari kerja. Dan Umak hanya bisa merelakan, pasrah dan berdoa untuk Aba. Dan sudah dua tahun ini Aba tak kunjung pulang. Sedangkan umak? Umak sekarang sudah tenang di sana. Umak sudah tidak lagi merasakan getirnya kehidupan.

***

Kriukk...kriukkk..... perut Inah berbunyi. Saingan dengan bunyi perut Munah. Menerbangkan ingatannya tentang Umak dan Aba. Sepanjang hari perut mereka hanya berisi air putih saja. Inah merasakan hal yang sama yang dirasakan Munah. Tapi, ia harus tegar. Ia tidak boleh terlihat lemah di mata Munah. Tidak boleh mengeluh di depan Munah.

Anak manusia yang baru berusia tujuh tahun itu harus berlagak dewasa dari umurnya yang sebenarnya.

“Yuk, lapar, Munah lapar!“ rintih Munah. Mungkin ia sudah tak tahan lagi menanggung rasa lapar.

“Munah mau makan, Yuk! ” pintanya lagi.

“Iya, Dek!” jawabnya lemah, nyaris tak terdengar. Inah tahu itu. Inah tahu kalau Munah sedang kelaparan. Ia pun sama. Mereka sama-sama merasakan hal yang sama. Lapar.
“Yuk, makan,” pintanya dengan wajah memelas. Menatap lurus ke arah wajah yang teduh mengusap keningnya dengan kasih.
“ Minom kian ye, Dek. Biar tidak terlalu terasa lapar.” Bujuk Ina.
Munah menggelengkan kepala. “Munah lapar, Munah mau makan!” tolaknya.

“Sabar ya, Dek. Orang yang sabar itu disayang Tuhan. Atau bagaimana kalau kita berdoa. Kita berdoa sama Allah. Siapa tahu akan dikabulkan. Ya, dek?”

“Kalau kita berdoa akan di kabulkan, ya?” wajah mungilnya berpikir. Menyiratkan kecerdasannya. Ina mengangguk.
“Kalau begitu ayo kita berdoa!” ajak Munah. Inah menuruti ajakan Munah. Ia tak ingin mengecewakan Munah.

Dalam hatinya ia terus berpikir. Bagaimana ini, apa yang harus ia lakukan? Sejujurnya ia sedikit ragu. Apa mungkin semua itu akan terjadi. Tuhan akan mengabulkan doanya, doa mereka?

Inah teringat kata-kata Ustadz Fahim, guru ngaji mereka dulu. Bahwa Allah itu maha Kuasa, maha Besar. Tak ada yang mustahil bagi-Nya. Teringat ucapan Ustadz Fahim tadi kembali timbul secercah harapan baru bagi Ina.
“Apakah Tuhan saying sama kita?”
“Kenapa bertanya begitu?”

“Iya, kenapa ada yang harus kelaparan seperti kita. Tapi, orang-orang lain ada yang kekenyangan.”
“ Tidak apa-apa, Dek ! Allah masih sayang sama kita. “

“ Kalau Allah sayang, kenapa sepertinya tidak adil? Apa bisa kita yang orang miskin bisa masuk surga?” mungkin di pikiran Munah surga itu hanya untuk orang kaya, seperti orang kaya saja yang layak menikmati kesenangan dan kebahagiaan. Padahal surga adalah ruang yang tidak ada penderitaan di dalamnya.
“ ya, bisa. Kita yang sabar, ya. “
“Ayuk di surga ada apa saja?”
“ da apa, ya? Kata ustadz, apa saja ada di sana.“
“ enar? Ada makanan?”
“ Ng… Ada. Memangnya kalau di surga, Munah mau makanan apa, Dek?”

“Kalau nasi bungkus ada tidak? ” Inah tersentak. Hatinya langsung gerimis. Alangkah sederhananya pinta seorang Munah, menunjukkan kalau saat ini ia sedang kelaparan sekali dan hanya punya satu keinginan yaitu, MAKAN!

Dipandanginya anak kecil berumur empat tahun itu. Munah terlihat sedang menerawang. Apakah ia sedang membayangkan nasi bungkus di surga. Nasi bungkus di surga? Ada-ada saja si Munah.

Ya, Allah berilah kami rezeki-Mu.

***

Malam semakin larut.

Kriuuk…kriuukk......perut Munah kembali terdengar. Mereka hanya bisa tersenyum. Senyuman yang penuh kegetiran. Tak lama kembali terdengar lagi. “He, bunyi lagi!” ucapnya malu-malu. Tapi sebenarnya yang lebih malu lagi adalah Inah. Sesungguhnya ia merasa sangat bersalah sekali pada Munah.

“Yuk, Munah ngantuk. Munah tidur saja, ya” Inah mengangguk. Dipeluknya Munah erat-erat.
“ Ya, Allah, kuatkanlah Munah. “

Suasana kembali sunyi. Tak terdengar lagi suara Munah menceracau. Tak terdengar lagi perut Munah yang kriuk-kriuk.
Allah maha pengasih.
Sebuah mobil Nissan Extrail hitam metalik berhenti. Menurunkan kardus besar.

Itulah aksi para calon dewan yang sedang mencari masa untuk mendukungnya. Maklum lagi masa kampanye. Bukan hanya itu tampak ramai pula orang-orang membawa kamera yang sibuk jepret sana-jepret sini. Dan tunggu sana besok beritanya di koran akan heboh.

Salah satu calon yang bakal menduduki kursi dewan diBaturaja sedang memperhatikan nasib orang-orang jalanan. Begitulah sosok yang sangat dibutuhkan masyarakat kita. Sosok yang peduli dengan orang-orang kecil yang sering luput dari perhatian.

Itu kalau lagi masa kampanye. Coba kalau tidak masa kampanye. Boro-boro kunjungan “memperhatikan orang-orang kecil”. Peduli saja tidak. Apa lagi kalau bukan baik kalau lagi ada maunya .

“Apa itu?” banyak orang langsung mendekati kardus besar itu. Inah pun beranjak dari tempatnya. Rupanya bukan hanya dia yang memperhatikan orang baru datang tadi. Rupanya seluruh penghuni emperan ini pun memperhatikan hal yang sama.

“Nasi, nasi…!” teriak anak kecil seumuran Munah berteriak girang. “ hah, nasi? pikir Ina. Tanpa pikir panjang ia mempercepat lagi langkah kakinya ikut memburu.
Mamamng-mamang becak pun ikut memburu dengan dengan perasaan ingin tahu mereka. Benarkah nasi Bungkus?.

Anak kecil itu girang sambil membuka bungkusan nasi bungkus.“ Rendang, nasi rendang! “ serunya.
“Iya, benar.” Seorang pengemispun langsung melahap. Tanpa memikirkan apa-apa lagi. Yang ada dipikirannya orang yang memberikan nasi bungkus ini adalah orang baik. Ia tak perduli kalau mereka sedang dimanfaatkan untuk politik.

Inah pun tak terlalu memperdulikan orang-orang disekitarnya yang sudah mulai melahap nasi bungkus mereka masing-masing.
Inah mengambil dua nasi bungkus. Yang satunya untuk Munah. Dengan penuh semangat dan rasa bahagia Inah mendekati Munah yang masih tertidur.

“ Dek, bangun Dek. Kita dapat nasi bungkus. Bukan hanya nasi sayur. Tapi nasi rendang. “ wajah Ina berbinar bahagia

Namun tak ada reaksi dari Munah. Inah mencoba membangunkan Munah. Di goyangnya tubuh Munah pelan. Tapi, Munah tetap diam.
Ditatapnya wajah Munah dingin.
Ina menggoyang dengan sedikit keras. Namun Munah masih tidak bereaksi. Mata Munah mulai memanas dan berkabut.
“Munah, Munah…”
“Munah… bangun Dek. Ini ayuk kundangkan nasi bungkus yang ngan pingenkan! ”

“Munah…” ucapanya lirih.

“Munah, ini nasi bungkusnya, Munah….” Hati Inah teriris-iris. Kedukaan berkabut di matanya. Menggenang menciptakan telaga.
Di dekapnya tubuh Munah yang tergolek lemah. Didekapnya tubuh mungil itu.

Dingin.

Ada titik-titik bening yang jatuh. 


Luruh.
 
Munah…!




Keterangan Bahasa Daerah:
1. Lapah = Lapar
2. Sambal Calok = Sambal Terasi
3. Nak balek kemane agi? = Mau pulang kemana lagi?
4. Aba = Bapak/Ayah
5. Umak = Ibu
6. Minom kian ye, Dek = Minum Saja ya, Dik
7. Ini ayuk kundangkan nasi bungkus yang ngan pingenkan!
= Ini kakak (perempuan) bawakan nasi bungkus yang kau inginkan.
 


Cerpen: MENDADAK NASYID

MENDADAK NASYID
Oleh: Lena Munzar 

“Ayo donk, Fit ! Buruan...” pinta Ida dengan sedikit geregetan dan tak sabaran menungguiku berdandan.
“Iya...ya, bentar ! Sabar dikit, napa ?!” aku dengan gerak ogah-ogahan sambil  membenahi letak kerudung lebarku yang masih mencong sana-sini.
“Takut telat, nih ! Kan sayang kalau ketinggalan “ucapnya cemas mondar-mandir kaya setrikaan.
“Emang  acara apaan, sih ? Heboh banget ?” mau nggak mau penasaran di buatnya sedikit risih juga ditungguin, pake' nggak sabaran lagi.
“Ada aja! Pokoknya dijamin happy ending, deh!”
“Iya, tapi apaan ?”

“Udah, ikut aja pasti bakalan nggak nyesel ! Buruan tuh Wiwik udah siap dari tadi, aku tunggu di teras, ya !” Ia berjalan meninggalkanku. Penasaranku tambah menjadi dengan sikap semangatnya.
Dari kamarku terdengar samar-samar suara Ida bercerita, kalau nggak salah dengar sih dia berbicara dengan Wiwik, temen kita sekost-an juga kebetulan kita berlima ngekost bareng.
Itu lebih memudahkan kita, disamping biaya kost lebih ringan kita udah cocok, kita semua kompakan karena kita-kita emang udah akrab dari SMA, kebetulan kuliah di kota tujuan yang sama, kampus yang sama cuma beda Fakultas aja.
Hh...aku mendesah panjang.
“Udah ?”tanya Dwi, tampaknya ia juga nggak bersemangat, aku tebak ia juga dipaksa Ida dan nggak enakan mau nolak. Sebenarnya aku enggan ikutan tapi Ida mohon-mohon banget minta ditemani, promosinya gencar banget dengan aksi memelasnya udah seminggu ini.
Please, ya Fit ! Tolong...! yang lain pada ikutan kok, jangan khawatir deh, asyik kok acaranya. Masa kamu mau tinggal sendirian, kita jarang banget akhir-akhir ini pergi bareng, Dwi ama Wiwik udah setuju kok, please ya?!”
“Aduh...gimana, ya?” aku bimbang dengan ajakan Ida. Lebih tepatnya malas.
“Sebenarnya aku banyak tugas, da! tugas akhir yang harus aku selesaikan itu sudah numpuk nunggu di kerjakan, apalagi tugas dari bu Siska kalau telat abislah aku, belum nyiapin  materi buat mentor di SMU, waktu seminggu tu full banget jam kuliah. Lagian aku nggak ikut, acaranya nggak bakal batal kan ?” aku harap dia maklum, tapi yang namanya Ida nggak gampang diajak kompromi. Walaupun aku sudah menjelaskan dia tetap aja ngotot. Disamping itu yang membuat aku nggak bersemangat, tujuannya nggak jelas, format acaranya apa? Tempatnya dimana? tau' deh !
“Aduh Fit, kok nggak kompakan banget, nggak ada loe nggak rame “kayak nada suaranya yang mirip iklan rokok yang lagi popular.
Yup. ! Sudak ketebak alasannya, rayuan dan wajah memelasnya itu membuat aku iba. Akhirnya luluhlah aku, nggak tega ngeliat dia mohon-mohon terus dan perjuangan pantang mundurnya membuat aku pasrah.
***
Akhirnya setelah dua kali naik angkot sampailah kami di lautan manusia, padahal masih satu persimpangan jalan lagi ke tempat yang kami tuju, tapi sudah sesak berjubelan. Panas, pengap itulah yang kurasakan. Aku nggak pernah membayangkan sebelumnya ternyata acara yang dimaksud Ida itu ternyata acara konser grup band yang bergaya funki ! Oh, my god !
Gimana ceritanya, nih ? sepanjang jalan menuju arah tempat konser ada banyak manusia berdandan ala sang idola yang mereka puja. Susah payah kami harus ikutan menembus masa aku dan Dwi saling pandang, bingung dan bisu…
Masa' sih? Ke tempat beginian ? Di otakku hadir beribu-ribu pertanyaan yang nggak mampu dijawab.
Idaaa...!
***
Aku benar-benar seperti hilang akal, nggak habis pikir, nggak nyangka bakal begini. Yang aku pertanyakan apa dia nggak mikir dengan acara beginian berani bawa aku dan Dwi serta tanpa memikirkan citra kami yang aku rasa sebentar lagi menguap, ya Rabb. Timbul penyesalan dalam hati, kenapa aku nggak mikir kalau acara yang beginian yang Ida maksud, padahal aku sudah paham betul kalau si Ida emang demen banget yang beginian. Dan ini sangat-sangat keterlaluan.
Yang lalu lalang diantara ribuan karakter manusia yang melintas banyak memperhatikan kami dengan tatapan aneh ? Ya, aneh masa' cewek berjilbab ikut acara beginian, tapi bukan saat yang tepat buat ngubris tatapan-tatapan aneh itu, yang aku pikirkan gimana kelanjutan nasib kami selanjutnya.
Aku bingung antara perasaan cemas, takut dan was-was, campur malu lagi. Apalagi pas kepergok sama Arif ketua LDK di Kampusku. Ikhwan yang istiqhomah dan sohibnya, Bayu kakak tingkatku para aktivis di kampus yang terkenal disiplin dan berprestasi, dakwah keduanya yang cap dua jempol.
Dengan heran mereka melihat kami, terutama untukku dan Dwi pertanyaan-pertanyaannya yang terlontar di telan riuh dan akhirnya samar terbawa arus, karena arus yang kami tuju berlawanan.
Lemas aku...
Sebuah konser grup band yang digelar di sebuah stadion lumayan luas yang mampu menampung tiga ribu jiwa. Suara yang terdengar sangat hingar-bingar keluar dari puluhan sound yang bersusun rapi di kanan-kiri stadion, masing-masing membentuk sound raksasa. Belum lagi lampu-lampu yang memakan beribu-ribu watt. Benar-benar berlebihan. Mana tagihan listrik baru saja naik. Jangan-jangan nanti membludak  naik dan tagihan rekening nanti di bebani ke masyarakat  lagi. Wah gawat !
Vocal grup band bergerak kesana-kemari dengan mic di tangan kanannya, tangan kirinya melambai-lambai. Sementara ribuan pengunjungnya seperti terhipnotis menari, jingkrak-jingkrakan, melonjak-lonjak mengikuti gerakan pujaan mereka. Ikutan nyanyi lagi!
Trus sang vocal melepas kaos yang dipakainya. Yang basah kuyup dengan aroma bau keringatnya itu, lalu dilemparkan kearah penonton yang dengan sigap berebutan seperti ayam dapat beras jatah yang bertaburan di tanah atau persis ikan yang dapat makan. Persis banget !
Astaghfirullah....
Banyak yang terinjak-injak, tersodok dan terjatuh memperjuangkan memperebutkan kaos itu mana bau lagi, week!!!
Kaos bersimbah peluh itu semakain kucel, dekil pas banget kalau di bilang kayak kain lap di dapur yang sebulan nggak di cuci.
Alamaak...! aku di kasih gratis aja ogah, deh...mendingan beli baru aja.
Belum lagi pemandangan yang lain, tampak banget cewek-cewek ABG dengan bajunya ala superman yang super ketat itu, nyaris kelihatan pusat dan lekuk-lekuk tubuhnya. Naudzubillah min dzalik, deh !
Di depan mataku tampak jelas sekitar empat pria mendesak dua orang ABG cewek dari dua arah. Aku syok seketika, detak jantungku tak beraturan, tak mampu berbicara. Pria sebelah kiri mencari sesuatu, tangannya mengarah ke rok kemudian kantong saku baju, di dapatilah hp dari salah satu ABG itu, walau hp telah diraih dan berpindah tangan pria itu, tak lama tangannya kembali lagi.
Astaghfirullah....aku takut.
“Hei....Da, pulang yuk! “pintaku.
What happen, honey ? Any problems ?”
“Pulang ! Aku bosan, aku nggak betah disini “dengan nada kuperjelas.
“Iya, nih ! Aku pusing “tampaknya Dwi setuju dengan usulku.
“Tapi kan lagi tanggung, ini baru lagu kedua !”Ida masih tampak menikmati suasana acara yang hingar-bingar membuat keriting telinga, kribo rambut.
“Aku udah nggak tahan nih, mau pulang nggak?” ucapku yang mulai emosi.
“Aduh…! Bentar lagi, ya? “pintanya.
“Nggak ! Pokoknya pulang sekarang !!”tegasku. Ia berpikir bimbang.
“Kalau kamu nggak mau ikutan pulang, aku pulang duluan.....”ancamku.
            Lama ida mikir. Ia terlihat bimbang dan aku berharap saat itu ia setuju dengan keinginanku untuk pulang. Namun di luar dugaan.
 “Ya udah, deh. Kalau mau pulang, pulang aja duluan. Aku nggak pa-pa kok. Hati-hati ya… !”ujarnya cuek. Mungkin ia agak terusik dengan ulahku. Aku nggak kalah kaget dengan jawabannya.
 Ugh....
Ingin rasanya aku marah-marah.  ah.,tapi percuma ... apa gunanya ! Yang terpenting sekarang meninggalkan tempat ini secepatnya. Dwi mengikutiku. Aku tau dia sebenarnya sudah dari tadi mau pulang. Terlihat dari sikapnya yang ngerasa nggak nyaman. Hanya Wiwik yang masih nemenin Ida, jaga-jaga kemungkinan sesuatu yang tak diharapkan terjadi.
Aku tak memperdulikan lagi sikapku, emosiku tak terkontrol lagi. Dwi tampak susah payah mengimbangi langkah panjangku. Sepanjang perjalanan kami sama-sama terdiam. Kami sibuk dengan pikiran masing-masing. Kok bisa jadi begini?. Dadaku sesak, butiran bening yang hangat akhirnya menetes juga dengan susah payah aku menahannya. Membobol bendungan kedongkolanku. Aku jadi kesaalll banget.
Dwi mencoba menghiburku. Disamping emosi sebenarnya aku merasakan takut dengan situasi seperti ini. Aku harus bertekad. Ku tanamkan niat dan di pikiranku hanya satu, Pulang.
Degup jantungku berpacu cepat bercampur rasa takut dan kesal. Apalagi ada perkelahian, entah apa motifnya membuat suasana yang kurasakan semakin tegang. Menyeramkan !
Sambil menunggu angkot dengan cemas, tiba-tiba ada yang menyapa dengan ramah.
“Mau pulang, Fit ?” aku kaget, rupanya akh dan  Bayu
“Eh...iya !”jawabku kelabakan sambil menghapus air mata.
“Kok cuma berdua ? “tampak ia memperhatikan rombongan kami tadi.
“Oh...mereka lanjut perjalanan. Macet aku nggak tahan kalau mau lanjut, akhirnya kami memutuskan pulang”jawabku bohong. Malu untuk jujur karma kekonyolan ini. Walau aku yakin mungkin mereka nggak akan mempermasalahkan hal ini.
“Kalau nggak keberatan kami anta, nggak baik berdua takutnya ada apa-apa. Apalagi dalam situasi seperti ini, tadi ada rusuh. Aku pikir kita juga searah”.
Dalam situasi seperti ini, kayaknya aku harus setuju. Aku nggak tahu harus sedih atau senang tapi yang pasti ada kelegaan. Setidaknya aman. Dwi juga tampak setuju.
****
Kuhentikan tilawahku lumayan kali ini dapat selesai dua juz. Selama tilawah aku agak nggak konsen soalnya Ida sudah hampir setengah jam ada di kamarku mondar-mandir. Aku tahu tujuannya kekamar ku ingin minta maaf. Dari insiden konser itu sudah hampir tiga hari aku menghindar dari Ida. Kalau di ingat-ingat lagi aku jadi nggak enak, teringat tidak boleh mendiamkan saudaranya sesama muslim lebih dari tiga hari.
“Fit, aku tahu kamu marah dari acara konser. Aku nggak tahu kalau ternyata kamu nggak suka”. Ucapnya terhenti. Aku masih diam sambil memperhatikan dan mendengarkan penjelasannya. Dari nada bicaranya sih tampaknya dia menyesal.
“Aku pikir kamu dan yang lainnya bakal senang, malah berbuntut kayak gini. Aku ngaku, aku salah maaf ya Fit.”pintanya, tampaknya ia tulus. Aku menatap Dwi yang tengah memperhatikan kami. Dwi berhenti sejenak dari aktivitasnya di depan komputer, Dwi menganggukkan kepala memberi isyarat padaku agar aku memaafkan Ida. Aku masih terdiam. Tampak wajah Ida cemas. Tapi, jujur nih aku masih kesal.
“Oke. Aku maafin asal yang begituan nggak terulang lagi”.
“Kami nggak menyalahkan kamu kalau niat berbagi kesenangan pada kami, tapi caranya kurang tepat”. Dwi ikut menanggapi. Nah, kayaknya tiba waktunya, inilah watu yang kutunggu-tunggu.
“Iya, Da. Kami hargai niatmu. Tapi, kayaknya kamu ngefans banget sama grup band itu?” selidikku.
“Iya.”
“Seberapa ngefans? Atau emang udah ngefans banget, ya?” Tanya ku lagi.
“Iya, ngefans banget “jawab Ida semangat. Aku dan Dwi saling pandang.
“Nah, itulah letak kesalahanmu!” ketusku.
“Lho, dimana salahnya?” Tanya Ida bingung.
“Salahnya elu yang ngefans banget, tapi bawa kita-kita”.
“Memang kita nggak boleh ngefans sama yang begituan ?”Ida tampak setengah protes, idolanya dipermasalahkan dan di salahkan.
“Boleh kita mengidolakan seseorang selagi di batas kewajaran dan yang diidolakan itu benar,”jelas Dwi bijak.
“Maksudnya?”
“Begini, memang rasa suka itu fitrah tapi liat-liat dulu banyak manfaatnya atau nggak.  Kita dikasih ALLAH otak untuk berpikir. Tapi jangan sampai kita terbawa arus, apalagi mengidolakan seseorang dengan histeria dan berlebihan. Kita juga harus pikirkan dampak dari apa yang kita lakukan. Kalau toh idola kita itu memberi pengaruh yang buruk buat iman dan aqidah kita, lebih baik nggak usah. Sebaliknya kita pilih figur idola yang lebih baik dan sebenarnya.
Ida masih tampak kurang terima, aku dan dwi menceritakan kejadian-kejadian yang kami liat sepanjang perjalanan saat kami pulang kemaren.
Ida terdiam, tampaknya ia berpikir. Aku menatap Dwi, minta dukungan dan tampaknya Dwi mengerti.
“Maaf, ya Da! Kita bukannya mau mendikte kamu. Kita cuma mau mengingatkanmu, selagi belum terlalu jauh. Benar kata Fitri, sebaiknya kita memang harus benar-benar mencari figur yang baik untuk kita idolakan”
“Siapa? Memang ada sosok yang menurut kalian lebih memenuhi figur yang baik?” Aku nggak tahu pasti maksud Ida, tapi belum sempat berpikir lebih jauh Dwi sudah menanggapi dengan bijak.
“Ada. Yaitu Rasulullah SAW” Dwi berhenti sejenak.
“Lagian meneladani Rasul dan mengidolakannya adalah bagian dari keimanan. Syahadat kita aja, yang merupakan pengakuan dan kesaksian kita kepada ALLAH dan berisikan mengakui, meneladani dan mengikuti Rasulullah. Jadi, mengikuti Rasul sama dengan mentaati ALLAH swt. Meneladani Rasul adalah hal yang logis dan bisa diterima. Sesungguhnya beliau pun idola yag paling ideal, teladan paling utama. Dan hikmahnya hidup kita tenang karena memiliki pegangan dan pedoman yang jelas. Dan jika kita beriman kita akan diberi ganjaran di syurga. Rasulullah juga teladan dalam hidupnya, kepribadiannya, perilakunya subhanallah banget ! Kesederhanaannya. Fisiknya jauh lebih semperna, ketampanannya dan kharismanya nggak ada yang menandingi beliau. Semua lewat! Kita nggak akan salah mengidolakan Rasulullah SAW”. terangku panjang lebar. Aku harap Ida mengerti.
“Oke. Kalau gitu. Tapi...”
“Apa? Apa lagi…?”
“Kalau idola nggak berlebihan, nggak apa-apa kan ? Trus, apa kita juga nggak boleh dengerin lagu-lagu yang gituan? Trus hiburan kita apa dong?!” tanyanya bingung.
Ah....Ida !
“Kalau biasa-biasa aja sih boleh aja. Sebaiknya hiburan orang mukmin itu yang bisa menambah keimanan kita. Kecintaan kita pada Rabb dan Rasulnya. “jelas Dwi lagi.
“Lantas apa?”
“Contohnya, kita sering-sering aja ikut kajian-kajian Islam, tausiyah-tausiyah atau denger nasyid. Nasyid juga salah satu media untuk dakwah dan bisa menambah keyakinan”tambahku.
“Nih, kalau mau jelasnya baca aca buku siroh nabawiyah dan siroh Rasulullah muhammad SAW dan buku wajah Rasulullah.” tawarku. Dan lega waktu Ida menerima tawaran kami. Ah semoga saja Ida berubah. Kusodorkan beberapa buku dan kaset nasyid untuk dia pinjam, dan aku lebih lega lagi ada kesempatan beginian buat ngedamprat eh, anu buat mengingatkan Ida. J
Lega....
****
Akhir-akhir ini Ida tampak berubah. Di kamarnya tampak lebih rapi dan bersih, tak ada lagi tampang-tampang idolanya yang berkiblat ke 'jahiliah' menurutku, yang biasa bergentayangan terpajang di dinding kamarnya dengan pose-pose yang aneh. Lebih membahagiakan lagi sekarang sering terdengar lantunan syahdu dari para mujahid dalam seni nasyid. Ah, lega deh!
Mungkin Ida sudah mulai mengerti. Aku harap buku-buku itu membantu.
Aku tampak bingung saat Ida menyarahkan empat tiket nonton konser nasyid, kami bertiga saling pandang.
Please, ya! Kali ini nggak bakal terulang kayak kemaren deh. Tempatnya juga terjamin. Kita di studio ada bangkunya, lagian yang nonton para jilbaber dan cowok-cowok yang suka ada jenggotnya itu, apa… wan?”
“Ikhwan”
.”Iya, gitu deh,  Sebenarnya aku sudah punya kasetnya, tapi ini kesempatan liat secara langsung. Kebetulan mereka konser disini. Please ya, lagunya bagus-bagus kok”. Pintanya memelas.
Kami saling pandang, gimana ya? Tapi kalau dipikir-pikir inikan jauh beda dari yang kemaren, lagian takut ngecewain si Ida, lagian Ida sekarang sudah sedikit berubah. Dan akhirnya kita setuju juga. Itung-itung hiburan juga.
                                                            ***
Di dalam studio jauh terasa lebih baik ketimbang di konser waktu itu dan suasananya tak begitu riuh. Bener sih apa yang Ida bilang. Kami kebagian bangku yang tak lumayan jauh, jadi terlihat dengan jelas. Awal acara semua masih dalam tahap aman-aman saja sampai rombongan personil dari nasyid itu muncul dan langsung membawakan tembang yang enak di dengar. Tapi tiba-tiba suasana riuh, hiruk pikuk. Kehisterisan mulai nampak. Sangat nampak. Sampai-sampai tadinya sunyi dan aman kini serasa di pasar tempel. Ada yang menjerit histeris, ada yang nangis-nangis. Lho kok?!
Tak heran tim nasyid nya memang kompak dan bagus. Lagu-lagunya pun bagus. Tapi kok jadinya begini. Kepalaku mulai terasa pusing, dadaku sesak gemetaran, jantung berdegup lebih keras dan keringat dingin mengucur lebih deras, apalagi terdengar Ida berteriak histeris meneriakkan nama personil tim nasyid itu. Yang ku tebak sekarang ini jadi idolanya pengganti grup band yang pernah ia idola-idolakan.
“Romii...!Ferdiaaan...!”
Gubrak!!!
Ampun deh, idaa…
Ya Rabb, apa yang harus aku lakukan... ?!
***
                                                                      ( Memory saat bersama sahabat : I Miis u sob…)