Senin, 21 Januari 2013

Cerpen: Nasi Bungkus Untuk Munah


                                                        Nasi Bungkus Untuk Munah 
                                                               Oleh Lena Munzar 


                                                              



Getir hati Inah saat memandangi wajah tirus yang semakain terlihat semakin kurus dan tampak pucat milik Munah adiknya.

Munah yang sedang tertidur di pangkuannya gelisah dan sesekali terdengar seperti merintih menahan rasa lapar. Ina semakin merasa bersalah. Merasa tak banyak yang dapat ia lakukan untuk sang adik yang terpaksa ikut merasakan pahitnya kehidupan.

“Lapah, lapah…Yuk. ” Rintih Munah.

Di bawah keremangan langit kota Baturaja. Di emperan toko yang menjulang. Menembok beton kawasan sepanjang jalan Pahlawan Kemarung. Perkembangan yang luar biasa cepatnya. Hanya dalam beberapa tahun saja Baturaja seperti kota yang tersulap. Pusat perbelanjaan yang mampu menjaga gengsi dan harga diri manusia sudah hadir di kota kecil ini. Sudah mulai terjadi perapian pedagang-pedagang kaki lima yang berjualan ngemper dengan lapak-lapak buluk mereka, sekarang tergusur mempercantik kota dengan dibuatnya taman kota, gedung olahraga, masjid megah yang cantik ada dua gedung-gedung pemerintahan bergaya khas Palembang menawan hati yang memandang.

Tapi, semua itu tidak untuk Inah dan Munah. Seperti malam ini, udara dingin menggigit perut mereka yang kosong. Menembus tulang-tulang rusuk siapa saja yang bermukim di sana.

Tak begitu jauh dari tempat mereka, banyak juga orang yang bernasib sama seperti mereka. Penghuni emperan.

“Oh, alangkah enak seandainya kita anak orang kaya. Punya rumah, pasti tidak kedinginan begini. Pastinya, Bisa beristirahat di kamar yang nyaman dan hangat. Andai kita punya duit, pasti sudah Ayuk belikan nasi bungkus buat kamu, Dek! Nasi campur kegemaranmu dengan lauk tempe goreng, sambal calok , dan secuil sayur. Satu bungkus nasi yang biasa kita nikmati berdua,” batinnya.

Wajahnya suram menatap ke arah jalan raya yang sudah mulai sepi dari lalu lalang kendaraan. Yang tampak hanya mamang-mamang becak yang mangkal ditemani dengan kepulan asap rokok mereka.

Ia bersandar pada dinding yang dingin. Hanya terdiam menatap sayu ke arah adiknya yang sedang tertidur sebelum pandangannya kembali menatap kearah jalan. Dalam pekat malam hanya ditemani rintik-rintik rinai hujan.

Ia pun merasakan rintik-rintik di hatinya yang lagi-lagi merenungi nasibnya.

“Ah, apa gunannya kalau hanya merintih saja. Apa akan membawa perubahan,” batinnya bertanya.

Sudah dua hari ini sebenarnya perut mereka berdua belum sedikitpun tersentuh nasi.

***

Seharian mereka sudah bolak-balik menyusuri Pasar Pucuk berharap akan dapat sesuatu yang dapat mengganjal perut mereka. Dengan sempoyongan mereka terus berjalan. Tangan Inah selalu menggengam erat tangan Munah, berjalan beriringan.

Pemandangan yang mengagumkan dan menyedihkan. Sebuah bentuk kasih sayang dua insan anak manusia yang benasib malang yang sedang berjuang keras mempertahankan hidup. Berjuang untuk hidup. Hidup memang sulit. Tapi tidak untuk disesali.

Mereka melewati beberapa rumah makan berharap ada yang berbaik hati menawari sisa-sisa makanan yang terbuang mubazir. Makanan sisa orang-orang berduit.
Tapi itu hanya harapan yang sia. Jangankan untuk sebuah tawaran, malah mereka mendapatkan perlakuan yang kasar dari pemilik rumah makan. Mereka dianggap menjijikan. Merusak pemandangan. Seolah-olah kehadiran mereka akan menimbulkan perubahan cita rasa dan warna pada masakan mereka. Sedangkan orang-orang yang ada di dalam dengan perut buncit mereka dengan makanan yang berlimpah itu sama sekali tidak memperdulikan mereka. Mungkin diantara mereka berpikiran I don’t care!

***

Dengan mata berkabut Inah menarik tangan Munah yang terjatuh oleh dorongan kasar pemilik rumah makan yang mengusir mereka. Dibantunya adiknya Munah untuk berdiri. Dibimbingnya untuk cepat menyingkir dari tempat itu.

Sepanjang perjalanan di emperan, mereka sama sekali tidak menemuan apa pun. Mereka berdua sama-sama terdiam tak mampu mengucapkan kata-kata lagi. Hati mereka sedih. Mengapa mereka harus meresakan penderitaan ini. Sedangkan di dunia ini banyak orang yang mungkin sedang merasakan bahagia.

Mereka tidak tahu lagi harus kemana.
Atau pulang saja?
Pulang?

Nak balek kemane agi? Sedang mereka sudah tidak punya tempat tinggal lagi. Dan mungkin rumah petak yang mereka tinggali bersama keluarga utuh sebelum mereka tercerai berai. Walau dulu tinggal di kontrakan kecil, mereka sempat bahagia, layaknya seperti keluarga lain. Hangat. Tapi, sekarang tidak ada lagi rumah yang dijadikan untuk tempat tinggal. Dapur emak sudah lama sekali tidak mengepul asapnya. Atau tudung nasi yang tidak berpenghuni.

Dulu, mereka sempat mencoba untuk pulang. mendapatkan perlakuan kasar. Diusir dari yang punya kontrakan dan mereka medapatkan cacian, Sumpah serapah, bahkan ancaman dari para rentenir yang menagih hutangnya pada emak. Hutang yang ditinggalkan umak . Hutang yang tak pernah dan tak sanggup emak untuk membayarnya. Dan mereka berdua tak berani lagi berharap pulang ke rumah. Rumah mereka sekarang adalah gerobak kumuh punya Aba dulu. Rumah yang bias di bawa kemana-mana. Pada saat sedang berjalan-jalan santai, dan melihat gadis kecil yang kesusahan mendorong gerobak yang sepantasnya disebut gerobak sampah. Gerobak itu ukuranya lebih besar dari ukuran tubuh yang mendorongnya, dan di dalam gerobak ada anak kecil. Jika siang hari gerobak itu akan terlihat tertutup separuh dengan kain yang sudah kumal. Berharap penghuni di dalamnya tidak terlalu kepanasan oleh sengatan matahari. Itulah mereka, Inah dan Munah dengan harta mereka satu-satunya gerobak peninggalan Aba.

Aba? Aba belum pulang.

Aba pergi merantau mencari pekerjaan. Mereka selalu berharap aba pulang dengan membawa banyak uang. Kalau di Baturaja, kota kecil ini tidak akan bisa merubah hidup mereka. Dan pasti hanya akan seperti itu-itu saja.

Sebelumnya, berbagai macam pekerjaan, serabutan telah dilakoni Aba. Mulai dari calo terminal. Tentu saja Aba tak mendapatkan banyak uang. Aba tidak mendapatkan banyak uang karena calo-calo di terminal sudah banyak dan sudah di beking oleh sopir-sopir yang rata-rata sudah punya langganan mereka sendiri. Mereka yang sudah lama jadi penghuni terminal Pasar Baru.

Pernah juga Aba jadi kuli angkut barang Toko Ahong. Tapi, upahnya kecil sekali. Terkadang tak cukup untuk mencukupi kebutuhan biaya hidup mereka sehari-hari. Sedangkan pekerjaan yang harus dikerjakan Aba banyak mengeluarkan tenaga. Mengangkat kardus-kardus yang berat. Bukan hanya kardus-kardus berat, derigen minyak sayur, berkarung-karung beras, gula, dan gandum.
Dan pernah Aba melakukan kesalahan, tidak sengaja Abah pernah menjatuhkan derigen minyak sayur, tumpah meluber ke mana-mana. Upah Abah dipotong seharga jual minyak sayur. Habislah semua upah Abah. Bukan hanya itu Abah lalu dipecat.

Pernah juga Abah berniat menjual rokok asongan. Tapi, itu butuh modal. Walaupun bisa dicoba dengan modal yang kecil. Tapi, tetap saja tidak bisa. Tidak cukup.

Tidak hanya itu. Utang Umak di warung sudah sangat menumpuk. Umak sampai malu kalau harus terus-terusan ngutang.

Akhirnya dengan modal nekat, Aba pergi ke kota cari kerja. Dan Umak hanya bisa merelakan, pasrah dan berdoa untuk Aba. Dan sudah dua tahun ini Aba tak kunjung pulang. Sedangkan umak? Umak sekarang sudah tenang di sana. Umak sudah tidak lagi merasakan getirnya kehidupan.

***

Kriukk...kriukkk..... perut Inah berbunyi. Saingan dengan bunyi perut Munah. Menerbangkan ingatannya tentang Umak dan Aba. Sepanjang hari perut mereka hanya berisi air putih saja. Inah merasakan hal yang sama yang dirasakan Munah. Tapi, ia harus tegar. Ia tidak boleh terlihat lemah di mata Munah. Tidak boleh mengeluh di depan Munah.

Anak manusia yang baru berusia tujuh tahun itu harus berlagak dewasa dari umurnya yang sebenarnya.

“Yuk, lapar, Munah lapar!“ rintih Munah. Mungkin ia sudah tak tahan lagi menanggung rasa lapar.

“Munah mau makan, Yuk! ” pintanya lagi.

“Iya, Dek!” jawabnya lemah, nyaris tak terdengar. Inah tahu itu. Inah tahu kalau Munah sedang kelaparan. Ia pun sama. Mereka sama-sama merasakan hal yang sama. Lapar.
“Yuk, makan,” pintanya dengan wajah memelas. Menatap lurus ke arah wajah yang teduh mengusap keningnya dengan kasih.
“ Minom kian ye, Dek. Biar tidak terlalu terasa lapar.” Bujuk Ina.
Munah menggelengkan kepala. “Munah lapar, Munah mau makan!” tolaknya.

“Sabar ya, Dek. Orang yang sabar itu disayang Tuhan. Atau bagaimana kalau kita berdoa. Kita berdoa sama Allah. Siapa tahu akan dikabulkan. Ya, dek?”

“Kalau kita berdoa akan di kabulkan, ya?” wajah mungilnya berpikir. Menyiratkan kecerdasannya. Ina mengangguk.
“Kalau begitu ayo kita berdoa!” ajak Munah. Inah menuruti ajakan Munah. Ia tak ingin mengecewakan Munah.

Dalam hatinya ia terus berpikir. Bagaimana ini, apa yang harus ia lakukan? Sejujurnya ia sedikit ragu. Apa mungkin semua itu akan terjadi. Tuhan akan mengabulkan doanya, doa mereka?

Inah teringat kata-kata Ustadz Fahim, guru ngaji mereka dulu. Bahwa Allah itu maha Kuasa, maha Besar. Tak ada yang mustahil bagi-Nya. Teringat ucapan Ustadz Fahim tadi kembali timbul secercah harapan baru bagi Ina.
“Apakah Tuhan saying sama kita?”
“Kenapa bertanya begitu?”

“Iya, kenapa ada yang harus kelaparan seperti kita. Tapi, orang-orang lain ada yang kekenyangan.”
“ Tidak apa-apa, Dek ! Allah masih sayang sama kita. “

“ Kalau Allah sayang, kenapa sepertinya tidak adil? Apa bisa kita yang orang miskin bisa masuk surga?” mungkin di pikiran Munah surga itu hanya untuk orang kaya, seperti orang kaya saja yang layak menikmati kesenangan dan kebahagiaan. Padahal surga adalah ruang yang tidak ada penderitaan di dalamnya.
“ ya, bisa. Kita yang sabar, ya. “
“Ayuk di surga ada apa saja?”
“ da apa, ya? Kata ustadz, apa saja ada di sana.“
“ enar? Ada makanan?”
“ Ng… Ada. Memangnya kalau di surga, Munah mau makanan apa, Dek?”

“Kalau nasi bungkus ada tidak? ” Inah tersentak. Hatinya langsung gerimis. Alangkah sederhananya pinta seorang Munah, menunjukkan kalau saat ini ia sedang kelaparan sekali dan hanya punya satu keinginan yaitu, MAKAN!

Dipandanginya anak kecil berumur empat tahun itu. Munah terlihat sedang menerawang. Apakah ia sedang membayangkan nasi bungkus di surga. Nasi bungkus di surga? Ada-ada saja si Munah.

Ya, Allah berilah kami rezeki-Mu.

***

Malam semakin larut.

Kriuuk…kriuukk......perut Munah kembali terdengar. Mereka hanya bisa tersenyum. Senyuman yang penuh kegetiran. Tak lama kembali terdengar lagi. “He, bunyi lagi!” ucapnya malu-malu. Tapi sebenarnya yang lebih malu lagi adalah Inah. Sesungguhnya ia merasa sangat bersalah sekali pada Munah.

“Yuk, Munah ngantuk. Munah tidur saja, ya” Inah mengangguk. Dipeluknya Munah erat-erat.
“ Ya, Allah, kuatkanlah Munah. “

Suasana kembali sunyi. Tak terdengar lagi suara Munah menceracau. Tak terdengar lagi perut Munah yang kriuk-kriuk.
Allah maha pengasih.
Sebuah mobil Nissan Extrail hitam metalik berhenti. Menurunkan kardus besar.

Itulah aksi para calon dewan yang sedang mencari masa untuk mendukungnya. Maklum lagi masa kampanye. Bukan hanya itu tampak ramai pula orang-orang membawa kamera yang sibuk jepret sana-jepret sini. Dan tunggu sana besok beritanya di koran akan heboh.

Salah satu calon yang bakal menduduki kursi dewan diBaturaja sedang memperhatikan nasib orang-orang jalanan. Begitulah sosok yang sangat dibutuhkan masyarakat kita. Sosok yang peduli dengan orang-orang kecil yang sering luput dari perhatian.

Itu kalau lagi masa kampanye. Coba kalau tidak masa kampanye. Boro-boro kunjungan “memperhatikan orang-orang kecil”. Peduli saja tidak. Apa lagi kalau bukan baik kalau lagi ada maunya .

“Apa itu?” banyak orang langsung mendekati kardus besar itu. Inah pun beranjak dari tempatnya. Rupanya bukan hanya dia yang memperhatikan orang baru datang tadi. Rupanya seluruh penghuni emperan ini pun memperhatikan hal yang sama.

“Nasi, nasi…!” teriak anak kecil seumuran Munah berteriak girang. “ hah, nasi? pikir Ina. Tanpa pikir panjang ia mempercepat lagi langkah kakinya ikut memburu.
Mamamng-mamang becak pun ikut memburu dengan dengan perasaan ingin tahu mereka. Benarkah nasi Bungkus?.

Anak kecil itu girang sambil membuka bungkusan nasi bungkus.“ Rendang, nasi rendang! “ serunya.
“Iya, benar.” Seorang pengemispun langsung melahap. Tanpa memikirkan apa-apa lagi. Yang ada dipikirannya orang yang memberikan nasi bungkus ini adalah orang baik. Ia tak perduli kalau mereka sedang dimanfaatkan untuk politik.

Inah pun tak terlalu memperdulikan orang-orang disekitarnya yang sudah mulai melahap nasi bungkus mereka masing-masing.
Inah mengambil dua nasi bungkus. Yang satunya untuk Munah. Dengan penuh semangat dan rasa bahagia Inah mendekati Munah yang masih tertidur.

“ Dek, bangun Dek. Kita dapat nasi bungkus. Bukan hanya nasi sayur. Tapi nasi rendang. “ wajah Ina berbinar bahagia

Namun tak ada reaksi dari Munah. Inah mencoba membangunkan Munah. Di goyangnya tubuh Munah pelan. Tapi, Munah tetap diam.
Ditatapnya wajah Munah dingin.
Ina menggoyang dengan sedikit keras. Namun Munah masih tidak bereaksi. Mata Munah mulai memanas dan berkabut.
“Munah, Munah…”
“Munah… bangun Dek. Ini ayuk kundangkan nasi bungkus yang ngan pingenkan! ”

“Munah…” ucapanya lirih.

“Munah, ini nasi bungkusnya, Munah….” Hati Inah teriris-iris. Kedukaan berkabut di matanya. Menggenang menciptakan telaga.
Di dekapnya tubuh Munah yang tergolek lemah. Didekapnya tubuh mungil itu.

Dingin.

Ada titik-titik bening yang jatuh. 


Luruh.
 
Munah…!




Keterangan Bahasa Daerah:
1. Lapah = Lapar
2. Sambal Calok = Sambal Terasi
3. Nak balek kemane agi? = Mau pulang kemana lagi?
4. Aba = Bapak/Ayah
5. Umak = Ibu
6. Minom kian ye, Dek = Minum Saja ya, Dik
7. Ini ayuk kundangkan nasi bungkus yang ngan pingenkan!
= Ini kakak (perempuan) bawakan nasi bungkus yang kau inginkan.
 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar