Minggu, 04 Mei 2014

Kisah Gadis Kecil

KISAH GADIS KECIL





Dulu aku gadis kecil yang suka sekali menatap bintang di langit malam.
Memandangi Kerlap-kerlip cahayanya, indah.
Di teras rumah panggung malam yang sunyi.
Ku biarkan angin membelai lembut wajahku, dan menggeraikan rambut panjangku...
Bintang dan alam menemaniku, diiringi suara jangkrik yang mengalun merdu.
Ku terbangakan asa ke angkasa raya, aku yakin akan segera sampai padaNya.
Tanpa khawatir akan terhalang apapun.







Aku biasa menghabiskan setengah waktu malamku 
berbicara dengan bintang, tentang hati dan asa.
Aku bicarakan semuanya, tentang cita-citaku, 

harapan, dan yang akan kulakukan saat aku besar nanti.
Aku bicara panjang lebar dengan semangat jiwa, dan berakhir saat ayah datang memintaku untuk segera tidur. 
Ayahku bilang tidurlah dan ukirlah cita-cita lewat mimpi.
Ayah, mimpiku sudah ku ukir diangkasa bersama bintang...






Bersama bintang aku bangkitkan imajinasi indahku.
apa yang kuinginkan, kuukir dalam imajinasiku.
Suatu malam bintang menghilang.
Tidak, kau bilang kau memperkenalkan hujan padaku, 

karena diapun ingin berteman denganku.
Ragu aku menyambut huluran tangannya.
Perlahan ku biarkan ia mendekatiku.
Dengan rinainya menyentuh lembut wajahku.
Hebat, dia menenggelamkan tangisku dalam riak suara rintiknya saat jatuh ke bumi...






Hujan pun meleburkan 
air mata dengan tetesan sucinya.
Aku merasa lega.
Dengan begitu aku tak perlu bersembunyi 

agar ayah dan ibuku tahu.
Mulai saat itu aku suka menari bersama hujan. 
Kalau aku sedang bersedih dengan hatiku.
Aku minta hujan datang padaku.






Kini, aku bukan gadis kecil lagi.
Lama baru tersadar.
Waktuku banyak kuhabiskan bersama hujan.
Hujan bilang ia adalah cinta.
Bintang datang padaku.
Dia cemburu..
Seperti malam ini, 

aku bersama hujan yang menemaniku dengan sabar.
Bintang rindu ingin bersamaku.
Seperti dulu.
Tiba-tiba membuncah rasa 

yang aku tak mampu menterjemahkan dengan kata-kata.
Mungkin sebenarnya aku juga sedang merindukan bintang.







Bintang, aku ingin melanjutkan imajinasi kita 
yang sempat terhenti.
Sampai mana mimpiku dulu?
Apa kau masih mengingatnya?

Jujur aku sedikit lupa, 
mungkin karena aku terlalu banyak bicara.
Akankah semua yang telah berlalu menjadi sia-sia?
Bintang, aku ingin semua orang tau tentang cerita kita.
Mulai malam ini aku akan mulai menuliskannya.
Aku tidak yakin akan mampu 

mengingat semua rasa yang pernah ku alami bersamu.






Bintang, aku putuskan untuk menuliskannya saja.
Kata orang imajinasi indah 
hanya di kepala itu namanya hayalan.
Tapi, kalau dituliskan ia akan menjadi karya

 yang bisa di baca siapa saja.
Aku ingin menuliskan semuanya.
Bukan karena ingin punya karya, 

seperti para sastrawan di luar sana.
Karena aku khawatir, 

Saat ingatanku mulai payah.
Dan energiku mulai melemah untuk banyak bicara.






Besok aku akan mulai menuliskan.
Menuliskan tentang rasa yang pernah kurasakan.
Karena malam ini aku sedikit lelah.
Aku janji Besok, akan kutuliskan semua.
Tentang ceritaku dengan dia.
Dia yang pernah hadir dalam mimpiku.
Ya, besok saja.. !


Lena Munzar
White room. Baturaja, 14 Maret 2014
📸: by google

Minggu, 23 Februari 2014

Secangkir Rindu



Secangkir Rindu




Secangkir rindu panas yang kuseduh
Kini menjadi dingin
Tapi di bangku taman ini aku tak ragu
Aku akan bertahan
Meski waktu mulai senja 
Aku akan menanti secangkir rindu yang kau bawa untuk kita berdua...

Lena Munzar, 5 februari 2014

Sabtu, 04 Januari 2014

Tanpa Cahaya

Cerpen


TANPA  CAHAYA
Karya Lena Munzar







“Pagi Cahaya…”
Itulah yang selalu kulakukan setiap pagi. Menyapa Cahayaku. Ia seseorang yang sangat istimewa bagiku. Rongga dadaku selalu dipenuhi cinta untuknya. Entah mengapa hati ini begitu terpikat padanya.
Setiap pagi kupandangi lekat-lekat wajahnya yang anggun penuh pesona. Tak ada rasa bosan atau jengah. Aku selalu merasa bahagia setiap kali memandang wajah manisnya. Aku bahagia mencintainnya. Rasa cinta yang murni dari tumbuh dari dasar hati.
Pernah ia bertanya mengapa aku suka padanya dan apa yang aku sukai darinya? Tentu saja semuanya. Alasannya? Tidak ada lalasan mengapa aku menyukainya. Aku tidak tahu mengapa aku menyukainya. Karena ini rasa suka dari sang penguasa hati dan aku bahagia. 
Annisa Nur Fitri. Tapi aku lebih suka memanggilnya “Cahaya”. Gadis pujaan ku ini memang seperti Cahaya. Ia bersinar, sinar penuh keindahan. Semua yang ada pada dirinya memancarkan keindahan. Matanya indah, suaranya merdu terdengar bernada saat ia bicara, bahasanya santun, soleha, cerdas dan bersahaja. Sempurna tanpa cela dimataku. Banyak laki-laki menyukainya. Dan aku bangga memilikinya.
Saat mata kami bertemu terasa getaran didalam dada. Membuncahkan perasaan yang indah menggelora. Oh, Cahaya… sepertinya aku sudah gila. Ya, sepertinya aku memang sudah gila karena sangat mencintamu. Kau begitu cantik dalam pandanganku. Apalagi saat kau tersenyum, seakan senyummu itu hanya untukku. Dan kau selalu tersenyum saat aku memandangimu.
 “Bang, makan dulu. Nanti sakit” Aku tersentak oleh suara Rani yang memecahkan suasana bahagiaku. Terdengar bergetar dari nadanya. Seperti biasa aku tak mau melihat atau menatapnya. Wajahnya selalu terlihat sedih. Meski terkadang terlihat ramah, mungkin ia sedang merasa bersalah. selebihnya selalu dengan raut wajah kesal. Seperti orang sedang marah. Entah apa yang ia marahkan padaku.
Tidak seperti Cahayaku yang selalu tersenyum. Ya, tentu saja Rani sangat berbeda dengan Cahayaku. Berbeda sekali, kalau wajah Cahaya cantik dan selalu tersenyum padaku sedangkan Wajah Rani selalu cemberut seperti orang yang selalu bermuram durja, kadang menangis. Aku tidak tahu mengapa ia menangis. Kalau sudah menangis ia meninggalkan aku dengan hentakkan yang kasar. Membanting pintu.
Brakkkk…
Tuh-kan, Cahaya. Rani membanting pintu lagi. Rani memang wanita yang kasar. Tidak ada sopan santun. Tidak sepertimu Cahaya, hanya engkau wanita yang penuh kelembutan dan anggun.
Di ruang seberang terdengar lagi suara Rani berbicara dengan suara keras bernada tinggi dan kadang terdengar lemah diiringi isak tangis…
“Aku tak kuat, bu. Aku tak kuat kalau Bang Hasan terus-terusan seperti ini…” Keluhnya. Tangisnya pecah. Pasti dia sedang mengadukan sikapku pada Ibu. Itu suara Rani. Ia selalu mengadu pada Ibu. Mungkin ia kesal padaku. Nasi yang ia antarkan ke kamarku tak pernah ku sentuh. Aku juga tak pernah mau berbicara padanya. Aku tak suka dia.
“Sabar Rani… kau harus sabar. Kau harus mengerti dengan keadaannya seperti ini Hibur ibuku. Eh, bukan lebih tepatnya ibunya Rani. Ibuku kini sudah menjadi ibunya Rani sekarang. Ibu lebih sering membela Rani daripada aku. Awalnya aku kesal. Tapi ku biarkan saja. Aku tidak boleh marah-marah atau membentak ibu lagi atau melawan seperti dulu yang selalu kulakukan pada Ibu jika Ibu selalu memaksakan kehendaknya padaku. Aku tidak boleh membantah Ibu. Tentu saja  Cahaya tidak akan menyukai itu.
Ya, hanya Cahaya yang selalu bisa membuat aku untuk tidak melakukan  yang seharusnya tidak kulakukan. Aku tak mau kehilangan Cahayaku lagi seperti dulu. Aku hampir kehilangan Cahaya. Saat Ibu memintaku menuruti kemaunya. Katanya itu demi kebaikanku. Kebaikan yang mana? Kebaikan yang harus memisahkan aku dengan Cahayaku. Itu bukan kebaikan. Tapi kematian. Cahaya adalah jiwaku. Aku menentang keputusan Ibu. Aku membangkang dan melawan Ibu. Selama ini kuikuti kemauan Ibu, tapi tidak untuk kali ini.
Aku tidak ingin kehilangan Cahayaku. Tidak ada kebahagiaan bagiku selain Cahayaku. Jika tiada Cahaya maka tidak akan ada sinar dalam hidupku. Tidak akan ada kebahagiaan meski aku berada di tengah keramaian. Keramaian yang diciptakan Ibuku. Ibuku suka sekali keramaian. Wajah Ibu sumringah bahagia dalam keramaian. Aku tidak tahu apa yang membuat Ibu bahagia. Tidak hanya Ibu, Rani juga tampak bahagia juga semua orang yang ada diruangan itu. Semua tampak bahagia kecuali aku. Wajah mereka berseri-seri tidak seperti hatiku yang terasa sepi.  Entah mengapa aku tidak bisa ikut merasakan bahagia seperti yang mereka rasakan. Bagaimana bisa bahagia? kebahagiaanku ada bersama Cahaya. Sedangkan Cahaya entah dimana. Dimana Cahaya? Aku tidak melihat Cahaya. Cahaya dimana engkau, Cahaya? aku ingin bahagia seperti mereka Cahaya dan aku ingin bersamamu.
Aku mulai ketakutan. Aku takut setengah mati. Aku takut Cahayaku pergi. Kucari Cahaya dimana-mana tapi tak ku temukan. Cahaya… Cahaya… dimana kau Cahaya? Kepanikan mulai menyerangku. Sungguh aku ketakutan luar biasa. Takut jika harus kehilangan Cahaya. Apa yang harus aku lakukan tanpa Cahaya. Aku terus  mencarinya dimana-mana. Tapi tak ku temukan juga. Di semua ruangan bahkan di hatiku. Hatiku? Hatiku tiba-tiba temaram. Sungguh aku tak suka temaram. Aku hanya menyukai keindahan Cahaya yang selalu menerangi hidupku. Lama aku dilanda duka kehilangan Cahaya. Hatiku sedih bahkan terasa sakit sekali. Rasa mau mati. Begitulah saat aku membantah ibuku. Aku harus kehilangan Cahayaku.
Dan ibu datang padaku  membawa kembali Cahaya. Hatiku kembali bersinar saat melihat cahaya datang dengan senyumannya yang indah. Senyuman yang kurasakan paling indah di dunia ini.
Kalau dalam permainan catur ibu sedang menawarkan remis pada rajaku yang hampir mati. Tapi aku kan berusaha sampai rajaku mati dengan terhormat!.
Dan mulai saat itu aku takut jika harus kehilangan Cahayaku lagi. Aku takut tak bisa memandangi wajah cantiknya Cahayaku, tak sanggup jika tidak melihat senyumnya lagi. Dan hari-hariku kini selalu diselimuti bahagia bersama Cahayaku. 
***
            Prakkk…
            Sebuah tamparan keras mendarat di pipiku. Ibu menapar wajahku. Terasa perih. Ibu menumpahkan kekesalannya padaku. “Sadar Hasan… sampai kapan kau akan hidup dalam imajinasimu. Lihatlah Rani. Kau melukai hatinya, melukai perasaanya. Sadar, Ibu minta kau sadar…sadar Hasan.”
Sejenak kulihat buliran air mata jatuh mengalir dari wajah ibu dan Rani. Ah, ibu… sekarang apa lagi. Permintaan apa ini, bu? Imajinasi apa? Mengapa ibu sangat marah seperti ini. Pasti seperti biasa ibu marah padaku karena Cahaya. Ingin kukatakan pada ibu ini bukan imajinasi. Tapi ini cinta. Cintaku pada Cahaya yang tidak pernah bisa ibu mengerti. Cinta yang ibu bilang konyol. Ini bukan konyol, bu. Ini cinta. Apa Ibu tidak pernah merasakan cinta? Tentu saja. Ibu tidak tahu bagaimana cinta. Ibu tidak pernah mendapatkan cinta dari ayah. Jika saja Ibu tahu cinta itu indah dan dahyat, bu. Bahkan cinta dan tidak bisa dijkangkau dengan   imajinasi.
“Sampai kapan kau akan seperti ini, Hah? Hasan Mahardika, sadar…” Ibu terus membentakku.
Beberapa pukulan keras mendarat di tubuhku hingga terasa tubuhku berguncang-guncang. Aku diam saja. Aku harus berkata apa? Apa yang harus kujawab. Ibu tak akan mendengarkanku. Aku hanya diam melihat Ibu dari jauh. Dan memeluk sesuatu di dekapanku. Sedikitpun tak ku lepaskan. Aku takut Ibu mengambilnya dariku. 
Rani? Kali ini kulihat ia berbeda. Ia menatapku dengan tatapan iba. Ia berusaha melerai ibu dan menjauhkan ibu dariku yang dari tadi terus memukulku. Tapi tidak membelaku. Matanya seperti memintaku mematuhi ibu. Ah, aku bosan patuh pada ibu. Aku tak ubah seperti robot dimata ibu. Harus melakukan ini, melakukan itu.
“Baiklah jika kau tak mau sadar juga… Ibu akan melakukannya. Ibu tidak bisa melihatmu seperti ini terus” Ibu keluar kamar. Rani menagis di sudut tempat tidurku. Dan aku masih meringkuk di pojok ruangan.
Tak berapa lama ibu masuk lagi dengan lima pria berpakaian putih. Warna yang di sukai Cahaya. Tapi entah mengapa kali ini aku tidak menyukai mereka yang mengenakan seragam putih itu. Aku yakin Cahaya pun tidak akan menyukainya.
“Bawa dia sekarang juga! “ Perintah ibu dingin sambil menatapku tajam.
“Jangan, bu. Aku akan berusaha menjaga bang Hasan, aku akan bersabar… kasihan bang Hasan, bu” Cegah Rani dengan linangan air mata. Memohon ibu menghentikan tindakkanya.
“Tidak, Rani. Ini untuk kebaikan Hasan dan kebaikanmu juga. Cepat, pak. Bawa dia.” Jawab Ibu datar. Rani terus menangis dengan sedih.
Pria-pria itu membawaku dengan kasar karena aku terus memberontak, melawan. Ku tatap ibu dalam amarahku. Aku tidak suka dengan apa yang ibu lakukan padaku. Hatiku sakit bukan karena pria-pria ini menyeretku tetapi mendengan ucapa ibu yang terus terngiang di telingaku. ini untuk kebaikan Hasan dan kebaikanmu juga. Kebaikan? Kebaikan siapa, bu? Ibu selalu padai berkilah dibalik tameng kebaikan. Aku muak mendengarnya. Aku terus meronta, melawan. Dan mereka membawaku paksa. Sebuah papan persegi dengan kaca yang berbingkai jatuh… aku teriak, meronta-ronta meraih benda kesayanganku jatuh. Tanganku tak sampai meraihnya. Bahkan jarakku semakin jauh. Aku teriak sekuat tenagaku. Tapi semua tidak mendengarkaku. Dan kulihat dari kejauhan Ibu meraih benda itu. Ditatapnya sejenak dengan penuh kebencian dan kemudian ibu mencampakkan benda kesayanganku itu ke kotak sampah. Ibu jahat sekali.
****
 Aku dimasukkan kedalam ruangan kecil oleh pria-pria yang memboyongku tadi. Lalu ditutup pintu dan dikunci. Ibu menyaksikan kepergianku dengan wajah datar dan dingin. “Tidaaakkkk, buuuu jangaaaaaan…” Teriakku.
****
“Pagi Cahaya…” Sapaku penuh kerinduan.
Kutatap lekat-lekat wajahnya. Wajah teduh milik Cahaya. Tapi, ada yang berubah dari Cahaya. Tidak tampak seperti biasanya. Ada apa dengan Cahayaku? Mengapa ia tak membalas sapaku?  Tidak menatap mataku yang penuh cinta. Tak terlihat senyum manisnya. Wajahnya sedih. Ada apa denganmu, Cahaya? Mengapa kau bersedih? Aku paling tidak bisa melihatmu bersedih. Cahayaku tidak boleh bersedih.
Tubuhku mulai bergetar. Gemetar ketakutan. Ya, ketakutan ini kurasakan lagi. Aku pernah mengalami ini, saat Cahaya menghilang sejenak dalam hidupku dulu.
“Hasan…” Cahaya memanggil namaku dengan lembut.
Cahaya? Benarkah itu engakau, Cahayaku? Jangan-jangan aku sedang bermimpi, berilusi atau berimajinasi seperti kata ibu.
“Dengarkan aku… kau tidak boleh seperti ini” Ucapnya tenang. Aku memperhatikan Cahayaku. Aku tahu dia akan mengatakan ini. Dulu ia pernah melakukan ini. Membuatku bungkam dari pemberontakkanku.
“Kau tidak boleh memperlakukkan dirimu seperti ini. Lihatlah kau sekarang. Kau sangat menyedihkan. Aku sedih melihatmu seperti ini.” Kulihat raut kesedihan di wajahnya. Tapi ia tetap terlihat cantik.
“Cahaya kau tak usah sedih. Aku tidak apa-apa. Ini adalah sebuah perjuangan. Ini perjuangan cintaku untukmu... “ Hiburku.
“Cinta yang mana yang kau perjuangkan? Cinta untukku? Itu sudah tidak bisa lagi Hasan. Ini Tidak boleh. Keadaan sudah berbeda sekarang.”
“Kenapa tidak boleh? Aku berhak atas cinta ini, Cahaya… Tuhan yang memberikan rasa cinta ini padaku. Dan aku mencintaimu… ?” Kuberikan tekan nada pada kalimat terakhir. Aku mau marah. Aku merasa Cahaya sedang meragukan cintaku padanya. Tapi aku tak bisa marah pada Cahaya. Aku bingung, kenapa Cahaya bersikap seperti ini.
Cahaya terdiam sesaat. Dinding ruangan yang membelengguku pun dingin dan sunyi. Aku pun terdiam. Suasana menjadi hening. Tak lama kudengar Cahaya mengucapkan lagi sesuatu.
“Hasan, dengarkan aku. Maafkan aku untuk semuanya. Abaikan perasaanmu terhadapku. Berikan hatimu pada wanita yang mencintaimu. Dan itu bukan aku… karena dia jauh lebih berhak daripada aku.” Aku tersentak mendengar ucapan Cahaya seperti sebuah permintaan. Apa-apaan ini Cahaya? Aku tidak mengerti maksudmu. Mengapa aku harus mengabaikan perasaan yang jelas-jelas ini hanya untumu. Memberikan hatiku pada orang yyang mencintaiku? Bukankah orang yang mencintaiku itu kau, Cahaya? Kulihat Cahaya menggelengkan kepalanya pelan. Membuatku tak percaya. Kau tidak mencintaiku? Kau tidak mencintaiku lagi? Aku tak percaya.
Mengapa kau tidak mencintaiku lagi. Seperti aku mencintaimu dengan cinta yang begitu dalam. Cahaya hanya diam, ia tidak menjawab pertanyaanku. Cahayaku hanya diam saja.
Tidak… ini tidak mungkin” aku tertawa sinis.
Bagaimana aku bisa memberikan hatiku pada orang lain. Hatiku hanya mencintaimu Cahaya. Mengapa kau tidak mengerti itu. Aku tidak bisa berbohong dan berpura-pura mencintai orang lain. Yang kucintai itu hanya dirimu, Cahaya.
Kau kenapa? Apa yang kau takutkan? Kau takut pada ibu? Jangan takut, lihatlah aku. Aku tak takut lagi pada ibu.
Beberapa detik kemudian aku terdiam dalam kesedihan. Kupandangi lekat-lekat wajah Cahayaku. Tak kutemukan lagi senyum manis miliknya. Tidak.. aku tidak mau seperti ini. Aku tidak ingin kesedihan ini. Aku hanya ingin bahagia bersamamu, Cahaya. Karena cintaku hanya untukmu.
            Perlahan kulihat Cahaya mulai kabur, cahayanya mulai berkurang terangnya. Ia mulai meredup. Semakin lama semakin redup, redup dan temaram dan nyaris hilang. Aku bangkit menghampiri Cahayaku. Tidak… tidak boleh. Cahaya aku mohon. Aku mohon jangan pergi dariku Cahaya. Jangan tinggalkan aku, Cahaya…
Aku berusaha sekuat tenagaku mempertahankan Cahayaku agar tak hilang. Cahaya bagaimana aku bisa hidup tanpamu dalam temaram. Aku tidak suka temaram apalagi gelap. Aku takut.. Aku takut tidak bisa melihatmu lagi. Aku takut tanpamu Cahaya…
Dan tiba-tiba… Jleb.
            Cahaya menghilang.
            Cahaya.. Cahayaaa… teriakku sekuat tenaga. Cahaya menghilang. Cahaya telah hilang. Dan tidak akan kembali lagi. Pergi untuk selamanya. Meninggalkan aku sendirian dalam kegelapan dengan hati yang penuh cinta untuknya.
            Cahaya kau pergi meninggalkan aku, membawa cintamu pergi jauh dariku. Meninggalkan sebongkah hati yang tulus untukmu. Pandanganku menjadi gelap. Hanya suara samar, terdengar menggil-manggil namaku.
****
            Saat aku tersadar, kurasakan ada sentuhan hangat yang menyentuh tanganku. Dari tangan yang selama itu jarang kusentuh. Rupanya tangan Rani sangat hangat. Rani datang dengan bingkai kaca berbentuk persegi. Benda kesayanganku. Kuraih, namun senyumku terhenti. Detak jantungku pun seakan ikut berhenti. Didalamnya tak adalagi gambar gadis pujaanku, Cahaya. Yang ada selembar kertas dengan gambar wajah Rani yang tersenyum bahagia. Baru pertama kali ini aku melihatnya tersenyum selama bertahun-tahun. Sedangkan gambar sosok laki-laki disampingnya dengan wajah yang datar tanpa rasa dan perasaan. Aku mengenalinya. Itu wajahku dengan hatiku yang beku.
            Pergilah Cahaya, tanganku tak kuasa menahanmu. Kau harus bahagia. Bersama mentari yang terbit esok hari. Dan aku? Aku akan seperti ini. Walau jiwa ragamu tak sudi aku masuk dalam lingkaran tasbih cintamu, walau bayanganmu pun tak sudiuntuk kuhinggapi dengan hatiku yang penuh dengan lahar-lahar salju. Aku akan tetap mencintaimu.Aku akan menerima semua ini dan mempertahankan  perasaan ini hanya untukmu. Maafkan aku Cahaya...

Terima kasih untuk sebongkah hati …


*Lena Munzar 
Baturaja, Kamis 26 September 2013/00.00-03.56 WIB

Memori sepulang dari Bali.