Jumat, 19 Agustus 2011

Cinta...


Cinta...


Sekalipun cinta telah kuuraikan dan kujelaskan panjang lebar.
Namun jika cinta kudatangi aku jadi malu pada keteranganku sendiri.
Meskipun lidahku telah mampu menguraikan dengan terang.
Namun tanpa lidah, Cinta ternyata lebih terang
Sementara pena begitu tergesa-gesa menuliskannya
Kata-kata pecah berkeping-keping begitu sampai kepada cinta
Dalam menguraikan cinta, akal terbaring tak berdaya
Bagaikan keledai terbaring dalam lumpur
Cinta sendirilah yang menerangkan cinta dan percintaan ! (KCB:69)

Jangan pernah menguji Allah...


Jangan pernah menguji Allah...

Cerita yang ku tulis ini adalah pengalaman ku alami beberapa tahun lalu. Bermula saat menjalani sholat terawih di masjid yang tak jauh dari rumah. Saat itu aku lupa membawa sajadah. Mungkin karena tergesa-gesa takut terlambat. Alhasil memang terlambat aku dapat shaf di teras masjid bersama jamaah yang lain. Setelah berhasil mendapatkan tempat, seakan-akan mau membentangkan sajadah aku baru teringat bahwa aku lupa membawa sajadah. Shaf-ku adalah barisan nyaris di barisan belakang yg tidak kebagian sajadah masjid yg biasa di bentang.
Aku benar-benar sholat di lantai tanpa sajadah. Sedangkan jamaah di depan, samping kiri dan kanan ada yg memakai dua lapis sajadah. Sajadah yg sudah di bentang oleh masjid di lapisi dengan sajadah yang di bawa dari rumah. Waktu sholat isya tiba. Aku benar-benar sholat tanpa sajadah. Tidak meragukan akan kesucian lantai masjid yg digunakan untuk sholat. Tidak. Karena aku sendiri yg setiap sore membersihkannya.
Tapi, dalam hati aku sedih, seakan ada kehinaan untukku.. Tidak ada satu pun yg berinisiatif meminjamkan atau berbagi sajadah denganku. Dalam hati aku bertanya-tanya. " Ya, Allah.. Ada salahkah aku? Sehingga dalam keadaan seperti ini tidak ada satu orang pun bersimpati padaku. Padahal aku yg membersihkan dan membentangkan sajadah agar bisa mereka tempati dan beribadah dengan nyaman. Kenapa seperti tidak adil untukku. Lihatlah mereka yg ada di depan, kiri dan kanan ku. Bukan mereka sedang tidak melihat.. Sungguh hatiku sangat sedih saat itu.. Bukankah pepatah mengatakan suatu saat kita akan menuai apa yg kita tanam?. Entahlah, aku jadi berpikir apa yg aku tanam selama ini salah".
Seruan untuk sholat terawih telah terdengar. Aku bersama jamaah lain berdiri. Ku berusaha sabar dan berusaha untuk tidak memikirkan masalah ini. Menjelang takbiratul ihram tiba-tiba ada seseorang yg berada di shaf belakang menyapaku, jamaah yg tidak begitu ku kenal. Ia meminjamkan sajadahnya padaku, bukan berbagi. Sedangkan ia menggunakan sajadah dan berbagi dengan jamaah disebelah kanannya. Subhanallah.. Hatiku pun gerimis haru.. Sungguh aku malu pada pikiran dan prasangka ku.. Astagfirullah, ampuni aku ya Allah..
Hikmah: Ternyata Allah memberikan kebaikan tidak saja berdasarkan dari keinginan kita semata, jika tidak dari depan, kiri atau kanan mu, bukankah masih ada kesempatan dari arah belakangmu..

Nilai part 1: Percayakan pada diri kita bahwa kita bisa


Nilai part 1: Percayakan pada diri kita bahwa kita bisa


Hari penuh debaran kali ini masih sama yang aku rasakan kurang lebih saat semester yang lalu. Semester satu. Saat-saat menanti nilai semesteran keluar. Pada saat itu tidak ada harapan dan doa yang lain kecuali mendapat nilai baik dan berhasil mendapat 24 SKS. Mau berapa pun nilai tak jadi soal. Akankah dapat nilai A, B, C, asal jangan saja nilai D.

Tapi saya mengingat-ingat selama proses perkuliahan untuk keaktifan, diskusi, tugas, quis, mid, semesteran memang saya jalani sebaik mungkin. Karna itu kewajiban. untuk hasilnya pasrah..

Apa lagi jika di ingat saya sempat melayangkan "protes damai" ke dosen saya tentang apa tanggapan dari hasil nilai mid saya yang sempat dengan nilai imut bulan anjlok lho…(untuk mata kuliah satu ini) tapi murni di bandingkan nilai bagus tapi curang. Saya hanya ingin tahu pandangan dosen saya. Karena ini menyangkut masa depan generasi bangsa. (Cie.. Hehe..hm.) Dan saya mendapat tanggapan. "kamu hanya kurang beruntung saja, tapi masih ada kesempatan yang lain". Gubrakk .. OK. Sistem belajar selama ini harus di perketan dan diperjuangkan lebih keras lagi.

Dan sempat agak ciut saat melihat ada beberapa teman saya yang punya keterampilan yang sangat baik di bidang copy paste jawaban dari buku catatan ke lembar jawaban dengan waktu yang relatif seingkat-singkatnya.

Saya meyakinkan diri bahwa saya mampu tanpa keterampikan tersebut. Saya harus berpikir BISA. (Harus berpikir BISA, coba renungkan teori ini: gimana mau bisa, jika berpikir untuk bisa saja tidak bisa, hayo???) Lagi pula malu sama umur dan kerudung. Pikiran pesimis sempat mampir untuk nilai dari mata kuliah yang pernah saya melakukan aksi “Protes damai” Aduh.. gimana kalau dosen itu marah? Sensitive? Nilai saya D? oh, tidak… janagn D males mau ikut SP apalagi ngulang semester depan dengan adik tingkat pula. Duh…

Dan... Akhirnya nilai keluar satu persatu. Alhamdulillah IP-ku dapat 3,81. Saya berhasil mengantongi 6 nilai A dan 2 nilai B untuk 8 mata kuliah. Subhanallah.. Padahal awalnya saya tidak begitu bermimpi walau di awal perkuliahan di azzamkan semoga saja di waktu wisuda mendapatkan nilai cum laude.

Dan nilai dengan dosen yang mata kuliah bermasalah itu dapat A. Beberapa teman sempat memberikan ucapan selamat sambil berkomentar "Wajar sih, orang ayuk tuh pinter". Hah.. Tidakkah kalian tahu semua itu adalah perjuangan. Dan satu kata kunci.. Tidak dengan NGEPEK !. Dan bagaimana dengan nilai semester dua kali ini?. Bersambung... ;-)