TANPA CAHAYA
Karya Lena Munzar
“Pagi Cahaya…”
Itulah yang selalu
kulakukan setiap pagi. Menyapa Cahayaku. Ia seseorang yang
sangat istimewa
bagiku. Rongga dadaku selalu dipenuhi cinta untuknya. Entah mengapa hati ini
begitu terpikat padanya.
Setiap pagi kupandangi
lekat-lekat wajahnya yang anggun penuh pesona. Tak ada rasa bosan atau jengah.
Aku selalu merasa bahagia setiap kali memandang wajah manisnya. Aku bahagia
mencintainnya. Rasa cinta yang murni dari tumbuh dari dasar hati.
Pernah ia bertanya mengapa
aku suka padanya dan
apa yang aku sukai darinya? Tentu saja semuanya. Alasannya? Tidak ada lalasan
mengapa aku menyukainya. Aku tidak tahu mengapa aku menyukainya. Karena ini
rasa suka dari sang penguasa hati
dan
aku bahagia.
Annisa Nur Fitri. Tapi
aku lebih suka memanggilnya “Cahaya”. Gadis pujaan ku ini memang seperti
Cahaya. Ia bersinar, sinar penuh keindahan. Semua yang ada pada dirinya
memancarkan keindahan. Matanya indah, suaranya merdu terdengar bernada saat ia bicara,
bahasanya santun, soleha, cerdas dan bersahaja. Sempurna tanpa cela dimataku.
Banyak laki-laki menyukainya. Dan aku bangga memilikinya.
Saat mata kami bertemu
terasa getaran didalam dada. Membuncahkan perasaan yang indah menggelora. Oh, Cahaya… sepertinya aku sudah gila.
Ya, sepertinya aku memang sudah gila karena sangat mencintamu. Kau begitu
cantik dalam pandanganku. Apalagi saat kau tersenyum, seakan senyummu itu hanya
untukku. Dan kau selalu tersenyum saat aku memandangimu.
“Bang, makan dulu. Nanti sakit” Aku tersentak
oleh suara Rani yang memecahkan suasana bahagiaku. Terdengar bergetar dari
nadanya. Seperti biasa aku tak mau melihat atau menatapnya. Wajahnya selalu terlihat sedih. Meski terkadang terlihat ramah, mungkin ia sedang
merasa bersalah. selebihnya selalu dengan raut wajah
kesal. Seperti
orang sedang marah. Entah apa yang ia marahkan padaku.
Tidak seperti Cahayaku yang selalu
tersenyum. Ya, tentu saja Rani sangat berbeda dengan Cahayaku. Berbeda sekali,
kalau wajah Cahaya cantik dan selalu tersenyum padaku sedangkan Wajah Rani
selalu cemberut seperti orang yang selalu bermuram durja, kadang menangis. Aku
tidak tahu mengapa ia menangis. Kalau sudah menangis ia meninggalkan aku dengan
hentakkan yang kasar. Membanting pintu.
Brakkkk…
Tuh-kan, Cahaya. Rani
membanting pintu lagi. Rani memang wanita yang kasar. Tidak ada sopan santun. Tidak sepertimu Cahaya, hanya engkau wanita yang penuh
kelembutan dan anggun.
Di ruang seberang terdengar lagi
suara Rani berbicara dengan suara keras bernada tinggi dan kadang terdengar
lemah diiringi isak tangis…
“Aku tak kuat, bu. Aku tak kuat kalau Bang Hasan terus-terusan seperti
ini…” Keluhnya.
Tangisnya pecah. Pasti dia sedang mengadukan sikapku pada Ibu. Itu suara Rani.
Ia selalu mengadu pada Ibu. Mungkin ia kesal padaku. Nasi yang ia antarkan ke
kamarku tak pernah ku sentuh. Aku juga tak pernah mau berbicara padanya. Aku
tak suka dia.
“Sabar Rani… kau harus sabar. Kau
harus mengerti dengan keadaannya seperti ini“ Hibur ibuku. Eh, bukan lebih tepatnya ibunya Rani. Ibuku kini sudah menjadi ibunya Rani sekarang.
Ibu lebih sering membela Rani daripada aku. Awalnya aku kesal. Tapi ku biarkan
saja. Aku tidak boleh marah-marah atau membentak ibu lagi atau melawan seperti
dulu yang selalu kulakukan pada Ibu jika Ibu selalu memaksakan kehendaknya padaku. Aku tidak boleh membantah Ibu. Tentu
saja Cahaya tidak akan menyukai itu.
Ya, hanya Cahaya yang selalu bisa
membuat aku untuk tidak melakukan yang seharusnya tidak kulakukan. Aku
tak mau kehilangan Cahayaku lagi seperti dulu. Aku hampir kehilangan Cahaya.
Saat Ibu memintaku menuruti kemaunya. Katanya itu demi kebaikanku. Kebaikan
yang mana? Kebaikan yang harus memisahkan aku dengan Cahayaku. Itu bukan
kebaikan. Tapi kematian. Cahaya adalah jiwaku. Aku menentang keputusan Ibu. Aku
membangkang dan melawan Ibu. Selama ini kuikuti kemauan Ibu, tapi tidak untuk
kali ini.
Aku tidak ingin kehilangan Cahayaku.
Tidak ada kebahagiaan bagiku selain Cahayaku. Jika tiada Cahaya maka tidak akan
ada sinar dalam hidupku. Tidak akan ada kebahagiaan meski aku berada di tengah
keramaian. Keramaian yang diciptakan Ibuku. Ibuku suka sekali keramaian. Wajah
Ibu sumringah bahagia dalam keramaian. Aku tidak tahu apa yang membuat Ibu
bahagia. Tidak hanya Ibu, Rani juga tampak bahagia juga semua orang yang ada
diruangan itu. Semua tampak bahagia kecuali aku. Wajah mereka berseri-seri
tidak seperti hatiku yang terasa sepi. Entah mengapa aku tidak bisa ikut
merasakan bahagia seperti yang mereka rasakan. Bagaimana bisa bahagia? kebahagiaanku
ada bersama Cahaya. Sedangkan Cahaya entah dimana. Dimana Cahaya? Aku tidak
melihat Cahaya. Cahaya dimana engkau, Cahaya? aku ingin bahagia seperti mereka
Cahaya dan aku ingin bersamamu.
Aku mulai ketakutan. Aku takut
setengah mati. Aku takut Cahayaku pergi. Kucari Cahaya dimana-mana tapi tak ku
temukan. Cahaya… Cahaya… dimana kau
Cahaya? Kepanikan mulai menyerangku. Sungguh aku ketakutan luar biasa. Takut
jika harus kehilangan Cahaya. Apa yang harus aku lakukan tanpa Cahaya. Aku
terus mencarinya dimana-mana. Tapi tak ku temukan juga. Di semua ruangan
bahkan di hatiku. Hatiku? Hatiku tiba-tiba temaram. Sungguh aku tak suka
temaram. Aku hanya menyukai keindahan Cahaya yang selalu menerangi hidupku.
Lama aku dilanda duka kehilangan Cahaya. Hatiku sedih bahkan terasa sakit
sekali. Rasa mau mati. Begitulah
saat aku membantah ibuku. Aku harus kehilangan Cahayaku.
Dan ibu datang padaku membawa
kembali Cahaya. Hatiku kembali bersinar saat melihat cahaya datang dengan senyumannya yang indah.
Senyuman yang kurasakan paling indah di dunia ini.
Kalau dalam permainan catur ibu sedang menawarkan remis
pada rajaku yang hampir mati. Tapi aku kan berusaha sampai rajaku mati dengan
terhormat!.
Dan mulai saat itu aku takut jika
harus kehilangan Cahayaku lagi. Aku takut tak bisa memandangi wajah cantiknya
Cahayaku, tak sanggup jika tidak melihat senyumnya lagi. Dan hari-hariku kini
selalu diselimuti bahagia bersama Cahayaku.
***
Prakkk…
Sebuah tamparan keras mendarat di pipiku. Ibu menapar wajahku. Terasa perih.
Ibu menumpahkan kekesalannya padaku. “Sadar Hasan… sampai kapan kau akan hidup
dalam imajinasimu. Lihatlah Rani. Kau melukai hatinya, melukai perasaanya.
Sadar, Ibu minta kau sadar…sadar Hasan.”
Sejenak kulihat buliran air mata
jatuh mengalir dari wajah ibu dan Rani. Ah, ibu… sekarang apa lagi. Permintaan
apa ini, bu?
Imajinasi apa? Mengapa ibu sangat marah seperti ini. Pasti seperti biasa ibu marah
padaku karena Cahaya. Ingin kukatakan pada ibu ini bukan imajinasi. Tapi ini
cinta. Cintaku pada Cahaya yang tidak pernah bisa ibu mengerti. Cinta yang ibu bilang
konyol. Ini bukan konyol, bu. Ini cinta. Apa Ibu tidak pernah merasakan cinta? Tentu
saja. Ibu tidak
tahu bagaimana cinta. Ibu tidak pernah mendapatkan cinta dari ayah. Jika saja
Ibu tahu cinta itu indah dan dahyat, bu. Bahkan cinta
dan tidak bisa dijkangkau dengan
imajinasi.
“Sampai kapan kau akan seperti ini,
Hah? Hasan Mahardika, sadar…” Ibu terus membentakku.
Beberapa pukulan keras mendarat di
tubuhku hingga terasa tubuhku
berguncang-guncang. Aku diam saja. Aku harus berkata apa? Apa yang harus
kujawab. Ibu tak akan mendengarkanku. Aku hanya diam melihat Ibu dari jauh. Dan
memeluk sesuatu di dekapanku. Sedikitpun tak ku lepaskan. Aku takut Ibu
mengambilnya dariku.
Rani? Kali ini
kulihat ia berbeda. Ia menatapku dengan tatapan iba. Ia berusaha melerai ibu
dan menjauhkan ibu dariku yang dari tadi terus memukulku. Tapi tidak membelaku.
Matanya seperti memintaku mematuhi ibu. Ah, aku bosan patuh pada ibu. Aku tak
ubah seperti robot dimata ibu. Harus melakukan ini, melakukan itu.
“Baiklah jika kau tak mau sadar
juga… Ibu akan melakukannya. Ibu tidak bisa melihatmu seperti ini terus” Ibu
keluar kamar. Rani menagis di sudut tempat tidurku. Dan aku masih meringkuk di
pojok ruangan.
Tak berapa lama ibu masuk lagi
dengan lima pria berpakaian putih. Warna yang di sukai Cahaya. Tapi entah
mengapa kali ini aku tidak menyukai mereka yang mengenakan seragam putih itu. Aku
yakin Cahaya pun tidak akan menyukainya.
“Bawa dia sekarang juga! “ Perintah ibu
dingin sambil menatapku tajam.
“Jangan, bu. Aku akan berusaha menjaga bang Hasan, aku akan
bersabar… kasihan bang Hasan, bu” Cegah Rani
dengan linangan air mata. Memohon ibu menghentikan tindakkanya.
“Tidak, Rani. Ini untuk kebaikan Hasan dan kebaikanmu juga. Cepat, pak. Bawa dia.”
Jawab Ibu datar. Rani terus menangis dengan sedih.
Pria-pria itu membawaku dengan kasar
karena aku terus memberontak, melawan. Ku tatap ibu dalam amarahku. Aku tidak
suka dengan apa yang ibu lakukan padaku. Hatiku sakit bukan karena pria-pria
ini menyeretku tetapi mendengan ucapa ibu yang terus terngiang di telingaku. ini
untuk kebaikan Hasan dan kebaikanmu juga. Kebaikan? Kebaikan siapa, bu? Ibu
selalu padai berkilah dibalik tameng kebaikan. Aku muak mendengarnya.
Aku terus meronta, melawan. Dan mereka membawaku paksa. Sebuah papan persegi
dengan kaca yang berbingkai jatuh… aku teriak, meronta-ronta meraih benda
kesayanganku jatuh. Tanganku
tak sampai meraihnya. Bahkan jarakku semakin jauh. Aku teriak sekuat tenagaku. Tapi semua tidak mendengarkaku. Dan kulihat
dari kejauhan Ibu meraih benda itu. Ditatapnya sejenak dengan penuh kebencian dan kemudian ibu mencampakkan
benda kesayanganku itu ke kotak sampah. Ibu jahat
sekali.
****
Aku dimasukkan kedalam ruangan kecil
oleh pria-pria yang memboyongku tadi. Lalu ditutup pintu
dan dikunci. Ibu menyaksikan kepergianku dengan wajah datar dan dingin.
“Tidaaakkkk, buuuu… jangaaaaaan…” Teriakku.
****
“Pagi Cahaya…” Sapaku penuh kerinduan.
Kutatap lekat-lekat wajahnya. Wajah teduh
milik Cahaya. Tapi, ada yang
berubah dari Cahaya. Tidak tampak seperti biasanya. Ada apa dengan Cahayaku? Mengapa ia
tak membalas sapaku? Tidak menatap
mataku yang penuh cinta. Tak terlihat senyum manisnya. Wajahnya sedih. Ada apa
denganmu, Cahaya?
Mengapa kau bersedih? Aku paling
tidak bisa melihatmu bersedih. Cahayaku tidak boleh bersedih.
Tubuhku mulai bergetar. Gemetar
ketakutan. Ya, ketakutan ini kurasakan lagi. Aku pernah mengalami ini, saat Cahaya menghilang sejenak dalam hidupku dulu.
“Hasan…” Cahaya memanggil namaku
dengan lembut.
Cahaya? Benarkah itu engakau, Cahayaku? Jangan-jangan aku sedang bermimpi, berilusi atau berimajinasi
seperti kata ibu.
“Dengarkan aku… kau tidak boleh
seperti ini” Ucapnya tenang. Aku memperhatikan Cahayaku. Aku tahu dia akan
mengatakan ini. Dulu ia pernah melakukan ini. Membuatku bungkam dari
pemberontakkanku.
“Kau tidak boleh memperlakukkan
dirimu seperti ini. Lihatlah kau sekarang. Kau sangat menyedihkan. Aku sedih
melihatmu seperti ini.” Kulihat raut kesedihan di wajahnya. Tapi ia tetap
terlihat cantik.
“Cahaya kau tak usah sedih. Aku
tidak apa-apa. Ini adalah sebuah perjuangan. Ini perjuangan cintaku untukmu...
“ Hiburku.
“Cinta yang mana yang kau
perjuangkan? Cinta untukku? Itu
sudah tidak bisa lagi Hasan. Ini Tidak boleh. Keadaan sudah berbeda sekarang.”
“Kenapa tidak boleh? Aku berhak atas cinta ini, Cahaya… Tuhan yang
memberikan rasa cinta ini padaku. Dan aku mencintaimu… ?” Kuberikan tekan nada
pada kalimat terakhir. Aku mau marah. Aku merasa
Cahaya sedang meragukan cintaku padanya. Tapi aku tak bisa marah pada Cahaya.
Aku bingung, kenapa Cahaya bersikap seperti ini.
Cahaya terdiam sesaat. Dinding
ruangan yang membelengguku pun dingin dan sunyi. Aku pun terdiam. Suasana
menjadi hening. Tak lama kudengar Cahaya mengucapkan lagi sesuatu.
“Hasan, dengarkan
aku. Maafkan aku untuk semuanya. Abaikan perasaanmu terhadapku. Berikan hatimu
pada wanita yang mencintaimu. Dan itu bukan aku… karena dia
jauh lebih berhak
daripada aku.” Aku tersentak mendengar ucapan Cahaya seperti sebuah permintaan.
Apa-apaan ini Cahaya? Aku tidak
mengerti maksudmu. Mengapa aku harus mengabaikan perasaan yang jelas-jelas ini
hanya untumu. Memberikan hatiku pada orang yyang mencintaiku? Bukankah orang
yang mencintaiku itu kau, Cahaya? Kulihat Cahaya menggelengkan kepalanya pelan.
Membuatku tak percaya. Kau tidak mencintaiku? Kau tidak mencintaiku lagi? Aku
tak percaya.
Mengapa kau tidak mencintaiku lagi.
Seperti aku mencintaimu dengan cinta yang begitu dalam. Cahaya hanya diam, ia tidak menjawab
pertanyaanku. Cahayaku hanya diam saja.
“Tidak… ini
tidak mungkin” aku tertawa sinis.
Bagaimana aku bisa memberikan hatiku
pada orang lain. Hatiku hanya mencintaimu Cahaya. Mengapa kau tidak mengerti itu. Aku tidak bisa berbohong dan
berpura-pura mencintai orang lain. Yang kucintai itu hanya dirimu, Cahaya.
Kau kenapa? Apa yang kau
takutkan? Kau takut pada ibu? Jangan takut, lihatlah aku. Aku tak takut
lagi pada ibu.
Beberapa
detik kemudian aku terdiam dalam
kesedihan. Kupandangi lekat-lekat wajah Cahayaku. Tak kutemukan lagi senyum
manis miliknya. Tidak.. aku tidak mau seperti ini. Aku tidak ingin kesedihan
ini. Aku hanya ingin bahagia bersamamu, Cahaya.
Karena cintaku hanya untukmu.
Perlahan kulihat Cahaya mulai kabur, cahayanya mulai berkurang terangnya. Ia mulai meredup. Semakin lama
semakin redup, redup dan temaram
dan nyaris hilang. Aku bangkit menghampiri Cahayaku. Tidak… tidak boleh. Cahaya
aku mohon. Aku mohon jangan pergi dariku Cahaya. Jangan tinggalkan aku, Cahaya…
Aku berusaha sekuat tenagaku
mempertahankan Cahayaku agar tak
hilang. Cahaya bagaimana aku bisa hidup tanpamu dalam temaram. Aku tidak suka temaram apalagi gelap. Aku takut.. Aku takut
tidak bisa melihatmu lagi. Aku takut tanpamu Cahaya…
Dan tiba-tiba… Jleb.
Cahaya menghilang.
Cahaya.. Cahayaaa… teriakku
sekuat tenaga. Cahaya menghilang. Cahaya telah hilang. Dan tidak akan kembali
lagi. Pergi untuk selamanya. Meninggalkan aku sendirian dalam kegelapan dengan
hati yang penuh cinta untuknya.
Cahaya kau pergi meninggalkan aku, membawa
cintamu pergi jauh dariku. Meninggalkan sebongkah hati yang tulus untukmu.
Pandanganku menjadi gelap. Hanya suara samar, terdengar menggil-manggil namaku.
****
Saat aku tersadar, kurasakan ada sentuhan hangat yang menyentuh tanganku. Dari
tangan yang selama itu jarang kusentuh. Rupanya tangan Rani sangat hangat. Rani
datang dengan bingkai kaca berbentuk persegi. Benda kesayanganku. Kuraih, namun
senyumku terhenti. Detak jantungku pun seakan
ikut berhenti. Didalamnya tak adalagi gambar gadis pujaanku, Cahaya.
Yang ada selembar kertas dengan gambar wajah Rani yang tersenyum bahagia. Baru
pertama kali ini aku melihatnya tersenyum selama bertahun-tahun. Sedangkan gambar
sosok laki-laki disampingnya dengan wajah yang datar tanpa rasa dan perasaan. Aku mengenalinya. Itu wajahku dengan hatiku yang beku.
Pergilah Cahaya, tanganku tak kuasa menahanmu. Kau harus bahagia. Bersama
mentari yang terbit esok hari. Dan aku? Aku akan seperti ini. Walau jiwa ragamu
tak sudi aku masuk dalam lingkaran tasbih cintamu, walau bayanganmu pun tak
sudiuntuk kuhinggapi dengan hatiku yang penuh dengan lahar-lahar salju. Aku
akan tetap mencintaimu.Aku akan menerima semua ini dan mempertahankan
perasaan ini hanya untukmu. Maafkan aku Cahaya...
Terima kasih
untuk sebongkah hati …
*Lena Munzar
Baturaja,
Kamis 26 September 2013/00.00-03.56 WIB
Memori sepulang dari Bali.
hmm..
BalasHapusbagaimana jika sebongkah hati memaksa untuk pergi dan menawarkan hati yang baru, harus pergi dan memaksa yang lain untuk tinggal dan bertahan bersama hati yang lain..
keren mbak, ^^
Terserah hati aja deh. Hatiku milikku...Dalam cinta hati itu dipilih bukan memilih.
BalasHapus