Senin, 21 Januari 2013

Cerpen: MENDADAK NASYID

MENDADAK NASYID
Oleh: Lena Munzar 

“Ayo donk, Fit ! Buruan...” pinta Ida dengan sedikit geregetan dan tak sabaran menungguiku berdandan.
“Iya...ya, bentar ! Sabar dikit, napa ?!” aku dengan gerak ogah-ogahan sambil  membenahi letak kerudung lebarku yang masih mencong sana-sini.
“Takut telat, nih ! Kan sayang kalau ketinggalan “ucapnya cemas mondar-mandir kaya setrikaan.
“Emang  acara apaan, sih ? Heboh banget ?” mau nggak mau penasaran di buatnya sedikit risih juga ditungguin, pake' nggak sabaran lagi.
“Ada aja! Pokoknya dijamin happy ending, deh!”
“Iya, tapi apaan ?”

“Udah, ikut aja pasti bakalan nggak nyesel ! Buruan tuh Wiwik udah siap dari tadi, aku tunggu di teras, ya !” Ia berjalan meninggalkanku. Penasaranku tambah menjadi dengan sikap semangatnya.
Dari kamarku terdengar samar-samar suara Ida bercerita, kalau nggak salah dengar sih dia berbicara dengan Wiwik, temen kita sekost-an juga kebetulan kita berlima ngekost bareng.
Itu lebih memudahkan kita, disamping biaya kost lebih ringan kita udah cocok, kita semua kompakan karena kita-kita emang udah akrab dari SMA, kebetulan kuliah di kota tujuan yang sama, kampus yang sama cuma beda Fakultas aja.
Hh...aku mendesah panjang.
“Udah ?”tanya Dwi, tampaknya ia juga nggak bersemangat, aku tebak ia juga dipaksa Ida dan nggak enakan mau nolak. Sebenarnya aku enggan ikutan tapi Ida mohon-mohon banget minta ditemani, promosinya gencar banget dengan aksi memelasnya udah seminggu ini.
Please, ya Fit ! Tolong...! yang lain pada ikutan kok, jangan khawatir deh, asyik kok acaranya. Masa kamu mau tinggal sendirian, kita jarang banget akhir-akhir ini pergi bareng, Dwi ama Wiwik udah setuju kok, please ya?!”
“Aduh...gimana, ya?” aku bimbang dengan ajakan Ida. Lebih tepatnya malas.
“Sebenarnya aku banyak tugas, da! tugas akhir yang harus aku selesaikan itu sudah numpuk nunggu di kerjakan, apalagi tugas dari bu Siska kalau telat abislah aku, belum nyiapin  materi buat mentor di SMU, waktu seminggu tu full banget jam kuliah. Lagian aku nggak ikut, acaranya nggak bakal batal kan ?” aku harap dia maklum, tapi yang namanya Ida nggak gampang diajak kompromi. Walaupun aku sudah menjelaskan dia tetap aja ngotot. Disamping itu yang membuat aku nggak bersemangat, tujuannya nggak jelas, format acaranya apa? Tempatnya dimana? tau' deh !
“Aduh Fit, kok nggak kompakan banget, nggak ada loe nggak rame “kayak nada suaranya yang mirip iklan rokok yang lagi popular.
Yup. ! Sudak ketebak alasannya, rayuan dan wajah memelasnya itu membuat aku iba. Akhirnya luluhlah aku, nggak tega ngeliat dia mohon-mohon terus dan perjuangan pantang mundurnya membuat aku pasrah.
***
Akhirnya setelah dua kali naik angkot sampailah kami di lautan manusia, padahal masih satu persimpangan jalan lagi ke tempat yang kami tuju, tapi sudah sesak berjubelan. Panas, pengap itulah yang kurasakan. Aku nggak pernah membayangkan sebelumnya ternyata acara yang dimaksud Ida itu ternyata acara konser grup band yang bergaya funki ! Oh, my god !
Gimana ceritanya, nih ? sepanjang jalan menuju arah tempat konser ada banyak manusia berdandan ala sang idola yang mereka puja. Susah payah kami harus ikutan menembus masa aku dan Dwi saling pandang, bingung dan bisu…
Masa' sih? Ke tempat beginian ? Di otakku hadir beribu-ribu pertanyaan yang nggak mampu dijawab.
Idaaa...!
***
Aku benar-benar seperti hilang akal, nggak habis pikir, nggak nyangka bakal begini. Yang aku pertanyakan apa dia nggak mikir dengan acara beginian berani bawa aku dan Dwi serta tanpa memikirkan citra kami yang aku rasa sebentar lagi menguap, ya Rabb. Timbul penyesalan dalam hati, kenapa aku nggak mikir kalau acara yang beginian yang Ida maksud, padahal aku sudah paham betul kalau si Ida emang demen banget yang beginian. Dan ini sangat-sangat keterlaluan.
Yang lalu lalang diantara ribuan karakter manusia yang melintas banyak memperhatikan kami dengan tatapan aneh ? Ya, aneh masa' cewek berjilbab ikut acara beginian, tapi bukan saat yang tepat buat ngubris tatapan-tatapan aneh itu, yang aku pikirkan gimana kelanjutan nasib kami selanjutnya.
Aku bingung antara perasaan cemas, takut dan was-was, campur malu lagi. Apalagi pas kepergok sama Arif ketua LDK di Kampusku. Ikhwan yang istiqhomah dan sohibnya, Bayu kakak tingkatku para aktivis di kampus yang terkenal disiplin dan berprestasi, dakwah keduanya yang cap dua jempol.
Dengan heran mereka melihat kami, terutama untukku dan Dwi pertanyaan-pertanyaannya yang terlontar di telan riuh dan akhirnya samar terbawa arus, karena arus yang kami tuju berlawanan.
Lemas aku...
Sebuah konser grup band yang digelar di sebuah stadion lumayan luas yang mampu menampung tiga ribu jiwa. Suara yang terdengar sangat hingar-bingar keluar dari puluhan sound yang bersusun rapi di kanan-kiri stadion, masing-masing membentuk sound raksasa. Belum lagi lampu-lampu yang memakan beribu-ribu watt. Benar-benar berlebihan. Mana tagihan listrik baru saja naik. Jangan-jangan nanti membludak  naik dan tagihan rekening nanti di bebani ke masyarakat  lagi. Wah gawat !
Vocal grup band bergerak kesana-kemari dengan mic di tangan kanannya, tangan kirinya melambai-lambai. Sementara ribuan pengunjungnya seperti terhipnotis menari, jingkrak-jingkrakan, melonjak-lonjak mengikuti gerakan pujaan mereka. Ikutan nyanyi lagi!
Trus sang vocal melepas kaos yang dipakainya. Yang basah kuyup dengan aroma bau keringatnya itu, lalu dilemparkan kearah penonton yang dengan sigap berebutan seperti ayam dapat beras jatah yang bertaburan di tanah atau persis ikan yang dapat makan. Persis banget !
Astaghfirullah....
Banyak yang terinjak-injak, tersodok dan terjatuh memperjuangkan memperebutkan kaos itu mana bau lagi, week!!!
Kaos bersimbah peluh itu semakain kucel, dekil pas banget kalau di bilang kayak kain lap di dapur yang sebulan nggak di cuci.
Alamaak...! aku di kasih gratis aja ogah, deh...mendingan beli baru aja.
Belum lagi pemandangan yang lain, tampak banget cewek-cewek ABG dengan bajunya ala superman yang super ketat itu, nyaris kelihatan pusat dan lekuk-lekuk tubuhnya. Naudzubillah min dzalik, deh !
Di depan mataku tampak jelas sekitar empat pria mendesak dua orang ABG cewek dari dua arah. Aku syok seketika, detak jantungku tak beraturan, tak mampu berbicara. Pria sebelah kiri mencari sesuatu, tangannya mengarah ke rok kemudian kantong saku baju, di dapatilah hp dari salah satu ABG itu, walau hp telah diraih dan berpindah tangan pria itu, tak lama tangannya kembali lagi.
Astaghfirullah....aku takut.
“Hei....Da, pulang yuk! “pintaku.
What happen, honey ? Any problems ?”
“Pulang ! Aku bosan, aku nggak betah disini “dengan nada kuperjelas.
“Iya, nih ! Aku pusing “tampaknya Dwi setuju dengan usulku.
“Tapi kan lagi tanggung, ini baru lagu kedua !”Ida masih tampak menikmati suasana acara yang hingar-bingar membuat keriting telinga, kribo rambut.
“Aku udah nggak tahan nih, mau pulang nggak?” ucapku yang mulai emosi.
“Aduh…! Bentar lagi, ya? “pintanya.
“Nggak ! Pokoknya pulang sekarang !!”tegasku. Ia berpikir bimbang.
“Kalau kamu nggak mau ikutan pulang, aku pulang duluan.....”ancamku.
            Lama ida mikir. Ia terlihat bimbang dan aku berharap saat itu ia setuju dengan keinginanku untuk pulang. Namun di luar dugaan.
 “Ya udah, deh. Kalau mau pulang, pulang aja duluan. Aku nggak pa-pa kok. Hati-hati ya… !”ujarnya cuek. Mungkin ia agak terusik dengan ulahku. Aku nggak kalah kaget dengan jawabannya.
 Ugh....
Ingin rasanya aku marah-marah.  ah.,tapi percuma ... apa gunanya ! Yang terpenting sekarang meninggalkan tempat ini secepatnya. Dwi mengikutiku. Aku tau dia sebenarnya sudah dari tadi mau pulang. Terlihat dari sikapnya yang ngerasa nggak nyaman. Hanya Wiwik yang masih nemenin Ida, jaga-jaga kemungkinan sesuatu yang tak diharapkan terjadi.
Aku tak memperdulikan lagi sikapku, emosiku tak terkontrol lagi. Dwi tampak susah payah mengimbangi langkah panjangku. Sepanjang perjalanan kami sama-sama terdiam. Kami sibuk dengan pikiran masing-masing. Kok bisa jadi begini?. Dadaku sesak, butiran bening yang hangat akhirnya menetes juga dengan susah payah aku menahannya. Membobol bendungan kedongkolanku. Aku jadi kesaalll banget.
Dwi mencoba menghiburku. Disamping emosi sebenarnya aku merasakan takut dengan situasi seperti ini. Aku harus bertekad. Ku tanamkan niat dan di pikiranku hanya satu, Pulang.
Degup jantungku berpacu cepat bercampur rasa takut dan kesal. Apalagi ada perkelahian, entah apa motifnya membuat suasana yang kurasakan semakin tegang. Menyeramkan !
Sambil menunggu angkot dengan cemas, tiba-tiba ada yang menyapa dengan ramah.
“Mau pulang, Fit ?” aku kaget, rupanya akh dan  Bayu
“Eh...iya !”jawabku kelabakan sambil menghapus air mata.
“Kok cuma berdua ? “tampak ia memperhatikan rombongan kami tadi.
“Oh...mereka lanjut perjalanan. Macet aku nggak tahan kalau mau lanjut, akhirnya kami memutuskan pulang”jawabku bohong. Malu untuk jujur karma kekonyolan ini. Walau aku yakin mungkin mereka nggak akan mempermasalahkan hal ini.
“Kalau nggak keberatan kami anta, nggak baik berdua takutnya ada apa-apa. Apalagi dalam situasi seperti ini, tadi ada rusuh. Aku pikir kita juga searah”.
Dalam situasi seperti ini, kayaknya aku harus setuju. Aku nggak tahu harus sedih atau senang tapi yang pasti ada kelegaan. Setidaknya aman. Dwi juga tampak setuju.
****
Kuhentikan tilawahku lumayan kali ini dapat selesai dua juz. Selama tilawah aku agak nggak konsen soalnya Ida sudah hampir setengah jam ada di kamarku mondar-mandir. Aku tahu tujuannya kekamar ku ingin minta maaf. Dari insiden konser itu sudah hampir tiga hari aku menghindar dari Ida. Kalau di ingat-ingat lagi aku jadi nggak enak, teringat tidak boleh mendiamkan saudaranya sesama muslim lebih dari tiga hari.
“Fit, aku tahu kamu marah dari acara konser. Aku nggak tahu kalau ternyata kamu nggak suka”. Ucapnya terhenti. Aku masih diam sambil memperhatikan dan mendengarkan penjelasannya. Dari nada bicaranya sih tampaknya dia menyesal.
“Aku pikir kamu dan yang lainnya bakal senang, malah berbuntut kayak gini. Aku ngaku, aku salah maaf ya Fit.”pintanya, tampaknya ia tulus. Aku menatap Dwi yang tengah memperhatikan kami. Dwi berhenti sejenak dari aktivitasnya di depan komputer, Dwi menganggukkan kepala memberi isyarat padaku agar aku memaafkan Ida. Aku masih terdiam. Tampak wajah Ida cemas. Tapi, jujur nih aku masih kesal.
“Oke. Aku maafin asal yang begituan nggak terulang lagi”.
“Kami nggak menyalahkan kamu kalau niat berbagi kesenangan pada kami, tapi caranya kurang tepat”. Dwi ikut menanggapi. Nah, kayaknya tiba waktunya, inilah watu yang kutunggu-tunggu.
“Iya, Da. Kami hargai niatmu. Tapi, kayaknya kamu ngefans banget sama grup band itu?” selidikku.
“Iya.”
“Seberapa ngefans? Atau emang udah ngefans banget, ya?” Tanya ku lagi.
“Iya, ngefans banget “jawab Ida semangat. Aku dan Dwi saling pandang.
“Nah, itulah letak kesalahanmu!” ketusku.
“Lho, dimana salahnya?” Tanya Ida bingung.
“Salahnya elu yang ngefans banget, tapi bawa kita-kita”.
“Memang kita nggak boleh ngefans sama yang begituan ?”Ida tampak setengah protes, idolanya dipermasalahkan dan di salahkan.
“Boleh kita mengidolakan seseorang selagi di batas kewajaran dan yang diidolakan itu benar,”jelas Dwi bijak.
“Maksudnya?”
“Begini, memang rasa suka itu fitrah tapi liat-liat dulu banyak manfaatnya atau nggak.  Kita dikasih ALLAH otak untuk berpikir. Tapi jangan sampai kita terbawa arus, apalagi mengidolakan seseorang dengan histeria dan berlebihan. Kita juga harus pikirkan dampak dari apa yang kita lakukan. Kalau toh idola kita itu memberi pengaruh yang buruk buat iman dan aqidah kita, lebih baik nggak usah. Sebaliknya kita pilih figur idola yang lebih baik dan sebenarnya.
Ida masih tampak kurang terima, aku dan dwi menceritakan kejadian-kejadian yang kami liat sepanjang perjalanan saat kami pulang kemaren.
Ida terdiam, tampaknya ia berpikir. Aku menatap Dwi, minta dukungan dan tampaknya Dwi mengerti.
“Maaf, ya Da! Kita bukannya mau mendikte kamu. Kita cuma mau mengingatkanmu, selagi belum terlalu jauh. Benar kata Fitri, sebaiknya kita memang harus benar-benar mencari figur yang baik untuk kita idolakan”
“Siapa? Memang ada sosok yang menurut kalian lebih memenuhi figur yang baik?” Aku nggak tahu pasti maksud Ida, tapi belum sempat berpikir lebih jauh Dwi sudah menanggapi dengan bijak.
“Ada. Yaitu Rasulullah SAW” Dwi berhenti sejenak.
“Lagian meneladani Rasul dan mengidolakannya adalah bagian dari keimanan. Syahadat kita aja, yang merupakan pengakuan dan kesaksian kita kepada ALLAH dan berisikan mengakui, meneladani dan mengikuti Rasulullah. Jadi, mengikuti Rasul sama dengan mentaati ALLAH swt. Meneladani Rasul adalah hal yang logis dan bisa diterima. Sesungguhnya beliau pun idola yag paling ideal, teladan paling utama. Dan hikmahnya hidup kita tenang karena memiliki pegangan dan pedoman yang jelas. Dan jika kita beriman kita akan diberi ganjaran di syurga. Rasulullah juga teladan dalam hidupnya, kepribadiannya, perilakunya subhanallah banget ! Kesederhanaannya. Fisiknya jauh lebih semperna, ketampanannya dan kharismanya nggak ada yang menandingi beliau. Semua lewat! Kita nggak akan salah mengidolakan Rasulullah SAW”. terangku panjang lebar. Aku harap Ida mengerti.
“Oke. Kalau gitu. Tapi...”
“Apa? Apa lagi…?”
“Kalau idola nggak berlebihan, nggak apa-apa kan ? Trus, apa kita juga nggak boleh dengerin lagu-lagu yang gituan? Trus hiburan kita apa dong?!” tanyanya bingung.
Ah....Ida !
“Kalau biasa-biasa aja sih boleh aja. Sebaiknya hiburan orang mukmin itu yang bisa menambah keimanan kita. Kecintaan kita pada Rabb dan Rasulnya. “jelas Dwi lagi.
“Lantas apa?”
“Contohnya, kita sering-sering aja ikut kajian-kajian Islam, tausiyah-tausiyah atau denger nasyid. Nasyid juga salah satu media untuk dakwah dan bisa menambah keyakinan”tambahku.
“Nih, kalau mau jelasnya baca aca buku siroh nabawiyah dan siroh Rasulullah muhammad SAW dan buku wajah Rasulullah.” tawarku. Dan lega waktu Ida menerima tawaran kami. Ah semoga saja Ida berubah. Kusodorkan beberapa buku dan kaset nasyid untuk dia pinjam, dan aku lebih lega lagi ada kesempatan beginian buat ngedamprat eh, anu buat mengingatkan Ida. J
Lega....
****
Akhir-akhir ini Ida tampak berubah. Di kamarnya tampak lebih rapi dan bersih, tak ada lagi tampang-tampang idolanya yang berkiblat ke 'jahiliah' menurutku, yang biasa bergentayangan terpajang di dinding kamarnya dengan pose-pose yang aneh. Lebih membahagiakan lagi sekarang sering terdengar lantunan syahdu dari para mujahid dalam seni nasyid. Ah, lega deh!
Mungkin Ida sudah mulai mengerti. Aku harap buku-buku itu membantu.
Aku tampak bingung saat Ida menyarahkan empat tiket nonton konser nasyid, kami bertiga saling pandang.
Please, ya! Kali ini nggak bakal terulang kayak kemaren deh. Tempatnya juga terjamin. Kita di studio ada bangkunya, lagian yang nonton para jilbaber dan cowok-cowok yang suka ada jenggotnya itu, apa… wan?”
“Ikhwan”
.”Iya, gitu deh,  Sebenarnya aku sudah punya kasetnya, tapi ini kesempatan liat secara langsung. Kebetulan mereka konser disini. Please ya, lagunya bagus-bagus kok”. Pintanya memelas.
Kami saling pandang, gimana ya? Tapi kalau dipikir-pikir inikan jauh beda dari yang kemaren, lagian takut ngecewain si Ida, lagian Ida sekarang sudah sedikit berubah. Dan akhirnya kita setuju juga. Itung-itung hiburan juga.
                                                            ***
Di dalam studio jauh terasa lebih baik ketimbang di konser waktu itu dan suasananya tak begitu riuh. Bener sih apa yang Ida bilang. Kami kebagian bangku yang tak lumayan jauh, jadi terlihat dengan jelas. Awal acara semua masih dalam tahap aman-aman saja sampai rombongan personil dari nasyid itu muncul dan langsung membawakan tembang yang enak di dengar. Tapi tiba-tiba suasana riuh, hiruk pikuk. Kehisterisan mulai nampak. Sangat nampak. Sampai-sampai tadinya sunyi dan aman kini serasa di pasar tempel. Ada yang menjerit histeris, ada yang nangis-nangis. Lho kok?!
Tak heran tim nasyid nya memang kompak dan bagus. Lagu-lagunya pun bagus. Tapi kok jadinya begini. Kepalaku mulai terasa pusing, dadaku sesak gemetaran, jantung berdegup lebih keras dan keringat dingin mengucur lebih deras, apalagi terdengar Ida berteriak histeris meneriakkan nama personil tim nasyid itu. Yang ku tebak sekarang ini jadi idolanya pengganti grup band yang pernah ia idola-idolakan.
“Romii...!Ferdiaaan...!”
Gubrak!!!
Ampun deh, idaa…
Ya Rabb, apa yang harus aku lakukan... ?!
***
                                                                      ( Memory saat bersama sahabat : I Miis u sob…)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar