DRAMA
Jika saya mendengar kata “drama”. Ada
banyak hal yang berkecamuk dalam pikiran saya. Saya jadi kembali teringat
dengan keinginan dan obsesi saya beberapa tahun yang lalu. Ingin sekali bermain
peran dan terlibat langsung dalam proses kreatif dan produksinya. Sebuah impian
yang gila mungkin, tapi sungguh hal ini memang pernah terlintas. Tentang sebuah
keinginan, suatu saat nanti bersama dengan teman-teman saya dapat menghasilkan
karya yang bermanfaat.
Bahkan sampai merambat pada cita-cita ingin membuat film indie,
mengangkat budaya melayu dan budaya lokal juga manambah daftar panjang dari
impian yang terkesan sangat lucu. Keinginan saya yang paling konyol dan sangat
gila adalah suatu saat nanti saya bisa bermain Teater di Taman Ismail Marzuki.
Dengan drama kolosal atau musical juga boleh. Bersama dengan orang-orang hebat
tentunya. Hm… Mimpi gratis kan?
Aamiin.
Ada
banyak hal kegilaan yang ada pada diri saya. Salah satunya adalah kegilaan saya
mengoleksi banyak buku dan film dari
banyak genre. Inilah yang membuat saya seringkali “teracuni dan mabuk” dan
terus-terusan haus, sulit untuk melepaskan diri.
Menurut saya, dunia kepenulisan, buku dan film sangat berkaitan erat.
Bahkan saling mendukung. Ada
banyak film yang mengangkat kisah dari buku ,juga sebaliknya. Dua kegiatan ini
tidak dapat terlepas dari proses penuangan ide kreatif yang dengan memanfaatkan
media tulisan.
Mengenai drama saya jadi teringat dua tokoh yang saya kenal lewat buku dan
film, mereka sepertinya sangat akrab dengan drama. Tokoh pertama dari barat.
Aldolf Hitler. Dari buku The Escape karya Rizki Ridyasmara yang pernah saya
baca, mengulas banyak penemuan fakta-fakta baru tentang Hitler, ada sebuah
kesaksian yang membuat saya sangat tertarik. Dalam buku itu ada sebuah pengakuan
teman satu kamar Hitler ketika bersama di 29
Stumpergase, Wina, bernama August Kubizek mahasiswa akademik musik ini
bersaksi, jika Hitler tidak bekerja dengan serius, tidak kuliah dan kerjanya hanya
menonton opera Richard Wagner dan Lohengrin. Bahkan, Hitler mampu menonton
opera berjudul “Tristan” karya Wagner sebanyak empat puluh kali dan opera
“Libertto’nya Lohengrin sebanyak empat puluh kali.
Sulit sekali membayangkan seorang pemimpin NAZI yang dikenal sebagai
pemimpin Diktator dan sangat kejam ini, yang telah melenyapkan banyak nyawa dan
meninggalkan sisa kekejamannya di beberapa tempat yang pernah menjadi korban
kekejamannya ini ternyata seorang pemuda yang suka sekali menonton drama. Tapi
inilah faktanya.
Satu lagi tokoh dari tanah air kita yang awalnya saya kenal dari sebuah
film di tahun 2008 lalu, tokoh yang diperankan sangat apik oleh Nicholas
Saputra. Saya pernah menyempatkan nonton
film ini meski tidak sampai selesai karena mendekati jadwal keberangkatan saya
ke Depok dan mampir ke Fakultas sastra jepang UI, untuk mengikuti serangakaian
kegiatan Silaturahmi Nasional bertemu dengan banyak penulis se-Indonesia dari
forum kepenulisan yang saya ikuti, membekas sebuah kenangan indah saat
bekesempatan langsung bertemu dengan Taufik Ismail.
Film yang diangkat dari buku memoar kisah perjalanan seorang aktivis di
era tahun 1960-an. Seorang aktivis Fakultas Sastra lahir dari dunia kepenulisan
menjadi salah satu orang yang menyebabkan tumbangnya rezim Orla dari hasil
pemikiran dan tulisan-tulisannya yang tersebar di banyak media.
Pernah dengar tentang “Catatan seorang demonstran” yang masih dijadikan
sebagai inspirator dari banyak mahasiswa hingga sekarang, dan masih terus
menjadi topik diskusi menarik yang dilakukan oleh kalangan mahasiswa. Ya, siapa
lagi kalau bukan Soe Hok gie.
Gie dengan teman-temannya selain aktif di kegiatan Mapala-nya, mereka
sering mengadakan aksi nonton bareng pertunjukan teater rakyat, memutar film
dan kemudian berdiskusi. Gie sosok yang menarik bagi saya. Selain pernah merasa
satu nasib untuk hal-hal tertentu dan juga tentunya banyak yang menginspirasi
saya untuk terus tetap menulis.
Menyimak kisah perjuangan Gie, membuat saya sangat malu selama menjadi
mahasiswa. Sungguh saya sangat malu menjadi mahasiswa. Karena masih ada banyak
hal yang belum mampu saya lakukan. Dan mungkin saya belum melakukan apa-apa.
Jujur sampai sekarang saya masih sering memutar film semi documenter ini
berulang-ulang. Kalau mau dibandingkan dengan trek record yang di raih Hitler tadi mungkin saya akan menjadi pemenangnya
mengungguli Hitler. Film yang membuat saya harus banyak mempelajari sejarah,
film yang isinya sangat padat. Butuh konsentrasi dan penalaran tingkat tinggi
selama proses mononton film ini.
Pikiran “nakal” saya muncul. Apakah kedua tokoh yang berpengaruh dan berprestasi di bidangnya masing-masing ini,
ada factor yang mempengaruhi yang berkaitan dengan drama?. Dengan melalui proses
analisis dan deef thinking-kah?.
Analisis hipotesis saya sepertinya begitu.
Jika benar demikian sungguh sangat menakjubkan berangkat dari hobi dan
kebiasaan, bisa membentuk manjadi tokoh seperti mereka. Wow… !
Bagaimana dengan team kreatif yang berhasil memproduksi karya yang telah
berhasil membentuk kedua tokoh yang bagi saya sama hebatnya ini? Kalau yang
menikmati hasilnya saja bisa menjadi orang yang begitu hebat, bagaimana dengan
mereka yang berhasil membuat karya tersebut tentunya harus jauh lebih hebat
lagi dong !.
Tentunya ada banyak tokoh-tokoh hebat yang dapat dijadikan inspirasi bagi
kita generasi hijau untuk terus semangat berkarya. Harus mampu balajar dari
tokoh-tokoh hebat yang berada di balik layar sebagai team kreatif. Ada banyak nama yang kita
kenal Seperti W.S Rendra dan Putu Wijaya dan masih banyak lagi sebagai bukti
nyata.
So, semangatlah kawan untuk berkarya dalam bidang apapun. Lakukanlah yang
terbaik. Semoga dengan kesempatan ini kita bisa menciptakan karya yang baik dan
menjadi bagian orang-orang yang dapat meninggalkan warisan yang bermanfaat.
Sebuah catatan sejarah , sebuah peninggalan bahwa kita pernah menjadi sosok
yang berharga semasa hidup kita. Raga memang bisa mati tapi jiwa yang
meninggalkan karya tidak akan pernah mati. Ia akan terus hidup.
Salam semangat. Semoga bumi kita
menjadi lebih indah.
Baturaja, Senin, 01 April 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar