MENDADAK
NASYID
Oleh:
Lena Munzar
“Ayo
donk, Fit ! Buruan...” pinta Ida dengan sedikit geregetan dan tak sabaran
menungguiku berdandan.
“Iya...ya,
bentar ! Sabar dikit, napa ?!” aku dengan gerak ogah-ogahan sambil membenahi letak kerudung lebarku yang masih
mencong sana-sini.
“Takut
telat, nih ! Kan sayang kalau ketinggalan “ucapnya cemas mondar-mandir kaya
setrikaan.
“Emang acara apaan, sih ? Heboh banget ?” mau nggak
mau penasaran di buatnya sedikit risih juga ditungguin, pake' nggak sabaran lagi.
“Ada
aja! Pokoknya dijamin happy ending, deh!”
“Iya,
tapi apaan ?”
“Udah,
ikut aja pasti bakalan nggak nyesel ! Buruan tuh Wiwik udah siap dari tadi, aku
tunggu di teras, ya !” Ia berjalan meninggalkanku. Penasaranku tambah menjadi
dengan sikap semangatnya.
Dari
kamarku terdengar samar-samar suara Ida bercerita, kalau nggak salah dengar sih
dia berbicara dengan Wiwik, temen kita sekost-an juga kebetulan kita berlima
ngekost bareng.
Itu
lebih memudahkan kita, disamping biaya kost lebih ringan kita udah cocok, kita
semua kompakan karena kita-kita emang udah akrab dari SMA, kebetulan kuliah di
kota tujuan yang sama, kampus yang sama cuma beda Fakultas aja.
Hh...aku
mendesah panjang.
“Udah
?”tanya Dwi, tampaknya ia juga nggak bersemangat, aku tebak ia juga dipaksa Ida
dan nggak enakan mau nolak. Sebenarnya aku enggan ikutan tapi Ida mohon-mohon
banget minta ditemani, promosinya gencar banget dengan aksi memelasnya udah
seminggu ini.
“Please, ya Fit ! Tolong...! yang lain pada ikutan kok, jangan
khawatir deh, asyik kok acaranya. Masa kamu mau tinggal sendirian, kita jarang
banget akhir-akhir ini pergi bareng, Dwi ama Wiwik udah setuju kok, please ya?!”
“Aduh...gimana,
ya?” aku bimbang dengan ajakan Ida. Lebih tepatnya malas.
“Sebenarnya
aku banyak tugas, da! tugas akhir yang harus aku selesaikan itu sudah numpuk
nunggu di kerjakan, apalagi tugas dari bu Siska kalau telat abislah aku, belum
nyiapin materi buat mentor di SMU, waktu
seminggu tu full banget jam kuliah. Lagian aku nggak ikut, acaranya
nggak bakal batal kan ?” aku harap dia maklum, tapi yang namanya Ida nggak
gampang diajak kompromi. Walaupun aku sudah menjelaskan dia tetap aja ngotot.
Disamping itu yang membuat aku nggak bersemangat, tujuannya nggak jelas, format
acaranya apa? Tempatnya dimana? tau' deh !
“Aduh
Fit, kok nggak kompakan banget, nggak ada loe nggak rame “kayak nada suaranya
yang mirip iklan rokok yang lagi popular.
Yup.
! Sudak ketebak alasannya, rayuan dan wajah memelasnya itu membuat aku iba.
Akhirnya luluhlah aku, nggak tega ngeliat dia mohon-mohon terus dan perjuangan
pantang mundurnya membuat aku pasrah.
***
Akhirnya
setelah dua kali naik angkot sampailah kami di lautan manusia, padahal masih
satu persimpangan jalan lagi ke tempat yang kami tuju, tapi sudah sesak
berjubelan. Panas, pengap itulah yang kurasakan. Aku nggak pernah membayangkan
sebelumnya ternyata acara yang dimaksud Ida itu ternyata acara konser grup band
yang bergaya funki ! Oh, my god !
Gimana
ceritanya, nih ? sepanjang jalan menuju arah tempat konser ada banyak manusia
berdandan ala sang idola yang mereka puja. Susah payah kami harus ikutan
menembus masa aku dan Dwi saling pandang, bingung dan bisu…
Masa'
sih? Ke tempat beginian ? Di otakku hadir beribu-ribu pertanyaan yang nggak
mampu dijawab.
Idaaa...!
***
Aku
benar-benar seperti hilang akal, nggak habis pikir, nggak nyangka bakal begini.
Yang aku pertanyakan apa dia nggak mikir dengan acara beginian berani bawa aku
dan Dwi serta tanpa memikirkan citra kami yang aku rasa sebentar lagi menguap,
ya Rabb. Timbul penyesalan dalam hati, kenapa aku nggak mikir kalau acara yang
beginian yang Ida maksud, padahal aku sudah paham betul kalau si Ida emang
demen banget yang beginian. Dan ini sangat-sangat keterlaluan.
Yang
lalu lalang diantara ribuan karakter manusia yang melintas banyak memperhatikan
kami dengan tatapan aneh ? Ya, aneh masa' cewek berjilbab ikut acara beginian,
tapi bukan saat yang tepat buat ngubris tatapan-tatapan aneh itu, yang aku
pikirkan gimana kelanjutan nasib kami selanjutnya.
Aku
bingung antara perasaan cemas, takut dan was-was, campur malu lagi. Apalagi pas
kepergok sama Arif ketua LDK di Kampusku. Ikhwan yang istiqhomah dan sohibnya,
Bayu kakak tingkatku para aktivis di kampus yang terkenal disiplin dan
berprestasi, dakwah keduanya yang cap dua jempol.
Dengan
heran mereka melihat kami, terutama untukku dan Dwi pertanyaan-pertanyaannya
yang terlontar di telan riuh dan akhirnya samar terbawa arus, karena arus yang
kami tuju berlawanan.
Lemas
aku...
Sebuah
konser grup band yang digelar di sebuah stadion lumayan luas yang mampu
menampung tiga ribu jiwa. Suara yang terdengar sangat hingar-bingar keluar dari
puluhan sound yang bersusun rapi di kanan-kiri stadion, masing-masing membentuk
sound raksasa. Belum lagi lampu-lampu yang memakan beribu-ribu watt. Benar-benar
berlebihan. Mana tagihan listrik baru saja naik. Jangan-jangan nanti
membludak naik dan tagihan rekening
nanti di bebani ke masyarakat lagi. Wah
gawat !
Vocal
grup band bergerak kesana-kemari dengan mic di tangan kanannya, tangan kirinya
melambai-lambai. Sementara ribuan pengunjungnya seperti terhipnotis menari,
jingkrak-jingkrakan, melonjak-lonjak mengikuti gerakan pujaan mereka. Ikutan
nyanyi lagi!
Trus
sang vocal melepas kaos yang dipakainya. Yang basah kuyup dengan aroma bau
keringatnya itu, lalu dilemparkan kearah penonton yang dengan sigap berebutan
seperti ayam dapat beras jatah yang bertaburan di tanah atau persis ikan yang
dapat makan. Persis banget !
Astaghfirullah....
Banyak
yang terinjak-injak, tersodok dan terjatuh memperjuangkan memperebutkan kaos
itu mana bau lagi, week!!!
Kaos
bersimbah peluh itu semakain kucel, dekil pas banget kalau di bilang kayak kain
lap di dapur yang sebulan nggak di cuci.
Alamaak...!
aku di kasih gratis aja ogah, deh...mendingan beli baru aja.
Belum
lagi pemandangan yang lain, tampak banget cewek-cewek ABG dengan bajunya ala
superman yang super ketat itu, nyaris kelihatan pusat dan lekuk-lekuk tubuhnya.
Naudzubillah min dzalik, deh !
Di
depan mataku tampak jelas sekitar empat pria mendesak dua orang ABG cewek dari
dua arah. Aku syok seketika, detak jantungku tak beraturan, tak mampu
berbicara. Pria sebelah kiri mencari sesuatu, tangannya mengarah ke rok
kemudian kantong saku baju, di dapatilah hp dari salah satu ABG itu, walau hp
telah diraih dan berpindah tangan pria itu, tak lama tangannya kembali lagi.
Astaghfirullah....aku
takut.
“Hei....Da,
pulang yuk! “pintaku.
“What happen, honey ? Any problems ?”
“Pulang ! Aku bosan, aku nggak betah disini “dengan nada
kuperjelas.
“Iya,
nih ! Aku pusing “tampaknya Dwi setuju dengan usulku.
“Tapi
kan lagi tanggung, ini baru lagu kedua !”Ida masih tampak menikmati suasana
acara yang hingar-bingar membuat keriting telinga, kribo rambut.
“Aku
udah nggak tahan nih, mau pulang nggak?” ucapku yang mulai emosi.
“Aduh…!
Bentar lagi, ya? “pintanya.
“Nggak
! Pokoknya pulang sekarang !!”tegasku. Ia berpikir bimbang.
“Kalau
kamu nggak mau ikutan pulang, aku pulang duluan.....”ancamku.
Lama ida mikir. Ia terlihat bimbang
dan aku berharap saat itu ia setuju dengan keinginanku untuk pulang. Namun di
luar dugaan.
“Ya udah, deh. Kalau mau pulang, pulang aja
duluan. Aku nggak pa-pa kok. Hati-hati ya… !”ujarnya cuek. Mungkin ia agak
terusik dengan ulahku. Aku nggak kalah kaget dengan jawabannya.
Ugh....
Ingin rasanya aku marah-marah. ah.,tapi percuma ... apa gunanya ! Yang
terpenting sekarang meninggalkan tempat ini secepatnya. Dwi mengikutiku. Aku
tau dia sebenarnya sudah dari tadi mau pulang. Terlihat dari sikapnya yang
ngerasa nggak nyaman. Hanya Wiwik yang masih nemenin Ida, jaga-jaga kemungkinan
sesuatu yang tak diharapkan terjadi.
Aku
tak memperdulikan lagi sikapku, emosiku tak terkontrol lagi. Dwi tampak susah
payah mengimbangi langkah panjangku. Sepanjang perjalanan kami sama-sama
terdiam. Kami sibuk dengan pikiran masing-masing. Kok bisa jadi begini?. Dadaku
sesak, butiran bening yang hangat akhirnya menetes juga dengan susah payah aku
menahannya. Membobol bendungan kedongkolanku. Aku jadi kesaalll banget.
Dwi
mencoba menghiburku. Disamping emosi sebenarnya aku merasakan takut dengan situasi
seperti ini. Aku harus bertekad. Ku tanamkan niat dan di pikiranku hanya satu, Pulang.
Degup
jantungku berpacu cepat bercampur rasa takut dan kesal. Apalagi ada
perkelahian, entah apa motifnya membuat suasana yang kurasakan semakin tegang.
Menyeramkan !
Sambil
menunggu angkot dengan cemas, tiba-tiba ada yang menyapa dengan ramah.
“Mau
pulang, Fit ?” aku kaget, rupanya akh dan Bayu
“Eh...iya
!”jawabku kelabakan sambil menghapus air mata.
“Kok
cuma berdua ? “tampak ia memperhatikan rombongan kami tadi.
“Oh...mereka
lanjut perjalanan. Macet aku nggak tahan kalau mau lanjut, akhirnya kami
memutuskan pulang”jawabku bohong. Malu untuk jujur karma kekonyolan ini. Walau
aku yakin mungkin mereka nggak akan mempermasalahkan hal ini.
“Kalau
nggak keberatan kami anta, nggak baik berdua takutnya ada apa-apa. Apalagi
dalam situasi seperti ini, tadi ada rusuh. Aku pikir kita juga searah”.
Dalam
situasi seperti ini, kayaknya aku harus setuju. Aku nggak tahu harus sedih atau
senang tapi yang pasti ada kelegaan. Setidaknya aman. Dwi juga tampak setuju.
****
Kuhentikan
tilawahku lumayan kali ini dapat selesai dua juz. Selama tilawah aku agak nggak
konsen soalnya Ida sudah hampir setengah jam ada di kamarku mondar-mandir. Aku
tahu tujuannya kekamar ku ingin minta maaf. Dari insiden konser itu sudah
hampir tiga hari aku menghindar dari Ida. Kalau di ingat-ingat lagi aku jadi
nggak enak, teringat tidak boleh mendiamkan saudaranya sesama muslim lebih dari
tiga hari.
“Fit,
aku tahu kamu marah dari acara konser. Aku nggak tahu kalau ternyata kamu nggak
suka”. Ucapnya terhenti. Aku masih diam sambil memperhatikan dan mendengarkan
penjelasannya. Dari nada bicaranya sih tampaknya dia menyesal.
“Aku
pikir kamu dan yang lainnya bakal senang, malah berbuntut kayak gini. Aku
ngaku, aku salah maaf ya Fit.”pintanya, tampaknya ia tulus. Aku menatap Dwi
yang tengah memperhatikan kami. Dwi berhenti sejenak dari aktivitasnya di depan
komputer, Dwi menganggukkan kepala memberi isyarat padaku agar aku memaafkan
Ida. Aku masih terdiam. Tampak wajah Ida cemas. Tapi, jujur nih aku masih
kesal.
“Oke.
Aku maafin asal yang begituan nggak terulang lagi”.
“Kami
nggak menyalahkan kamu kalau niat berbagi kesenangan pada kami, tapi caranya
kurang tepat”. Dwi ikut menanggapi. Nah, kayaknya tiba waktunya, inilah watu
yang kutunggu-tunggu.
“Iya,
Da. Kami hargai niatmu. Tapi, kayaknya kamu ngefans banget sama grup band itu?”
selidikku.
“Iya.”
“Seberapa
ngefans? Atau emang udah ngefans banget, ya?” Tanya ku lagi.
“Iya,
ngefans banget “jawab Ida semangat. Aku dan Dwi saling pandang.
“Nah,
itulah letak kesalahanmu!” ketusku.
“Lho,
dimana salahnya?” Tanya Ida bingung.
“Salahnya
elu yang ngefans banget, tapi bawa kita-kita”.
“Memang
kita nggak boleh ngefans sama yang begituan ?”Ida tampak setengah protes,
idolanya dipermasalahkan dan di salahkan.
“Boleh
kita mengidolakan seseorang selagi di batas kewajaran dan yang diidolakan itu
benar,”jelas Dwi bijak.
“Maksudnya?”
“Begini,
memang rasa suka itu fitrah tapi liat-liat dulu banyak manfaatnya atau nggak. Kita dikasih ALLAH otak untuk berpikir. Tapi
jangan sampai kita terbawa arus, apalagi mengidolakan seseorang dengan histeria
dan berlebihan. Kita juga harus pikirkan dampak dari apa yang kita lakukan.
Kalau toh idola kita itu memberi pengaruh yang buruk buat iman dan aqidah kita,
lebih baik nggak usah. Sebaliknya kita pilih figur idola yang lebih baik dan
sebenarnya.
Ida
masih tampak kurang terima, aku dan dwi menceritakan kejadian-kejadian yang
kami liat sepanjang perjalanan saat kami pulang kemaren.
Ida
terdiam, tampaknya ia berpikir. Aku menatap Dwi, minta dukungan dan tampaknya
Dwi mengerti.
“Maaf,
ya Da! Kita bukannya mau mendikte kamu. Kita cuma mau mengingatkanmu, selagi
belum terlalu jauh. Benar kata Fitri, sebaiknya kita memang harus benar-benar
mencari figur yang baik untuk kita idolakan”
“Siapa?
Memang ada sosok yang menurut kalian lebih memenuhi figur yang baik?” Aku nggak
tahu pasti maksud Ida, tapi belum sempat berpikir lebih jauh Dwi sudah
menanggapi dengan bijak.
“Ada.
Yaitu Rasulullah SAW” Dwi berhenti sejenak.
“Lagian
meneladani Rasul dan mengidolakannya adalah bagian dari keimanan. Syahadat kita
aja, yang merupakan pengakuan dan kesaksian kita kepada ALLAH dan berisikan
mengakui, meneladani dan mengikuti Rasulullah. Jadi, mengikuti Rasul sama
dengan mentaati ALLAH swt. Meneladani Rasul adalah hal yang logis dan bisa
diterima. Sesungguhnya beliau pun idola yag paling ideal, teladan paling utama.
Dan hikmahnya hidup kita tenang karena memiliki pegangan dan pedoman yang
jelas. Dan jika kita beriman kita akan diberi ganjaran di syurga. Rasulullah
juga teladan dalam hidupnya, kepribadiannya, perilakunya subhanallah banget ! Kesederhanaannya. Fisiknya jauh lebih
semperna, ketampanannya dan kharismanya nggak ada yang menandingi beliau. Semua
lewat! Kita nggak akan salah mengidolakan Rasulullah SAW”. terangku panjang
lebar. Aku harap Ida mengerti.
“Oke.
Kalau gitu. Tapi...”
“Apa?
Apa lagi…?”
“Kalau
idola nggak berlebihan, nggak apa-apa kan ? Trus, apa kita juga nggak boleh
dengerin lagu-lagu yang gituan? Trus hiburan kita apa dong?!” tanyanya bingung.
Ah....Ida
!
“Kalau
biasa-biasa aja sih boleh aja. Sebaiknya hiburan orang mukmin itu yang bisa
menambah keimanan kita. Kecintaan kita pada Rabb dan Rasulnya. “jelas Dwi lagi.
“Lantas
apa?”
“Contohnya,
kita sering-sering aja ikut kajian-kajian Islam, tausiyah-tausiyah atau denger
nasyid. Nasyid juga salah satu media untuk dakwah dan bisa menambah
keyakinan”tambahku.
“Nih,
kalau mau jelasnya baca aca buku siroh nabawiyah dan
siroh Rasulullah muhammad SAW dan buku
wajah Rasulullah.” tawarku. Dan lega waktu Ida menerima tawaran kami. Ah
semoga saja Ida berubah. Kusodorkan beberapa buku dan kaset nasyid untuk dia
pinjam, dan aku lebih lega lagi ada kesempatan beginian buat ngedamprat eh, anu
buat mengingatkan Ida. J
Lega....
****
Akhir-akhir
ini Ida tampak berubah. Di kamarnya tampak lebih rapi dan bersih, tak ada lagi
tampang-tampang idolanya yang berkiblat ke 'jahiliah' menurutku, yang biasa
bergentayangan terpajang di dinding kamarnya dengan pose-pose yang aneh. Lebih
membahagiakan lagi sekarang sering terdengar lantunan syahdu dari para mujahid
dalam seni nasyid. Ah, lega deh!
Mungkin
Ida sudah mulai mengerti. Aku harap buku-buku itu membantu.
Aku
tampak bingung saat Ida menyarahkan empat tiket nonton konser nasyid, kami bertiga
saling pandang.
“Please, ya! Kali ini nggak bakal terulang kayak kemaren deh.
Tempatnya juga terjamin. Kita di studio ada bangkunya, lagian yang nonton para
jilbaber dan cowok-cowok yang suka ada jenggotnya itu, apa… wan?”
“Ikhwan”
.”Iya,
gitu deh, Sebenarnya aku sudah punya
kasetnya, tapi ini kesempatan liat secara langsung. Kebetulan mereka konser
disini. Please ya, lagunya bagus-bagus kok”. Pintanya memelas.
Kami
saling pandang, gimana ya? Tapi kalau dipikir-pikir inikan jauh beda dari yang
kemaren, lagian takut ngecewain si Ida, lagian Ida sekarang sudah sedikit berubah.
Dan akhirnya kita setuju juga. Itung-itung hiburan juga.
***
Di
dalam studio jauh terasa lebih baik ketimbang di konser waktu itu dan
suasananya tak begitu riuh. Bener sih apa yang Ida bilang. Kami kebagian bangku
yang tak lumayan jauh, jadi terlihat dengan jelas. Awal acara semua masih dalam
tahap aman-aman saja sampai rombongan personil dari nasyid itu muncul dan
langsung membawakan tembang yang enak di dengar. Tapi tiba-tiba suasana riuh,
hiruk pikuk. Kehisterisan mulai nampak. Sangat nampak. Sampai-sampai tadinya
sunyi dan aman kini serasa di pasar tempel. Ada yang menjerit histeris, ada
yang nangis-nangis. Lho kok?!
Tak
heran tim nasyid nya memang kompak dan bagus. Lagu-lagunya pun bagus. Tapi kok
jadinya begini. Kepalaku mulai terasa pusing, dadaku sesak gemetaran, jantung
berdegup lebih keras dan keringat dingin mengucur lebih deras, apalagi
terdengar Ida berteriak histeris meneriakkan nama personil tim nasyid itu. Yang
ku tebak sekarang ini jadi idolanya pengganti grup band yang pernah ia
idola-idolakan.
“Romii...!Ferdiaaan...!”
Gubrak!!!
Ampun
deh, idaa…
Ya
Rabb, apa yang harus aku lakukan... ?!
***
( Memory
saat bersama sahabat : I Miis u sob…)