Suami Romantis
Oleh: Dian Yasmina Fajri
Aku berdiri di depan kalender. Beberapa hari lagi
kami akan melewati tanggal istimewa. Tahun perkawinan kami yang kelima.
Seingatku kami jarang bertengkar. Kalau bukan aku
duluan yang cari gara-gara, sepertinya kami tak akan pernah bertengkar.
Penyebabnya pun bisa masalah sepele yang bagiku kadang sangat menjengkelkan.
Aku bisa menerimanya dengan lapang dada kalau sedang cuek, tapi kalai
keimananku lagi tipis aku bisa uring-uringan karenanya.
Suamiku tidak romantis. Dia kadang nggak ngeh
dengan apa yang aku mau. Padahal menurutku, dari bahasa tubuh saja seharusnya
dia bisa menangkap keinginanku. Orangnya cuek bebek, walupun selera humornya
oke juga hingga kadang kami sering melewati hari dengan kelucuan-kelucuan yang menyegarkan.
Misalnya, dia tak malu mengajakku berjoget kalau kebetulan mendengarkan iklan
Syarmila di televise. Gayanya dengan jempol ketemu jempol dengan mata
dimerem-meremkan kadang membuatku tertawa sampai sakit perut. Soalnya aku pada
saat yang sama kadang suka membayangkan bagaimana berwibawanya dia di tempatnya
bekerja. Oh, ya, suamiku bekerja di bagian personalia sebuah pabrik sebagai
pemimpin yang membawahi ratusan buruh. Dia juga kerap mengisi pengajian
bapak-bapak di masjid tempat kami tinggal.
“Aku bilangin bapak-bapak pengajian baru tahu rasa
lho!” godaku mencandainya.
“Alaah, kamu juga, di data dulu katanya pendiam,
tahunya cerewetnya ‘nggak tahaaaan’!” balasnya menirukan sebuah iklan.
Ia mengungkit data waktu kami taaruf dulu. Kami
menikah tanpa pacaran, tapi dikenalkan oleh teman. Teman yang jadi mak comblang
itu bilang padanya kalau aku pendiam. Kenyataanya aku memang pendiam kalau
sedang tidur. Tapi kalau dia begitu, ya… terpaksa aku jadi cerewet.
Jam delapan malam saat kepulangannya dari kantor,
dia duduk di bangku kesayangannya. Aku mengambilkan the dan makanan kecil, lalu
kai saling betukar cerita tentang kejadian yang kami alami seharian tadi.
Kadang kalau ana-anak sudah tidur, kami bisa mengobrol sampai setengah sebelas
malam atau lebih malam lagi.
“Mandi dulu, Yang!” kataku entah untuk yang
keberapa kali di sela-sela obrolan kami
“Apakah harus?”
“Iya lah, kamu berdebu begitu!”
“Ck… ck, Ibu-ibu… mandi itu harus ada
sebab-sebabnya!” jawabnya nakal.
“Sebabnya udah jelas… kamu bau bus dan berdebu
begitu,” jawabku sambil menutup hidung pura-pura sangat terganggu.
“Ee.. Ingat… kiat-kiat menjaga kulit… Satu, mandi
jika ada sebab yang mewajibkan. Dua, banyak bergerak, agar banyak keluar
keringat. Tiga, keringat tak usah dilap. Empat, jangan mandi sebelum gatal…!”
Aku jadi tetawa mendengar alasannya. Herannya
kulitnya memang dari sononya bening dan bersih. Wajahnya mulus tak pernah
jerawatan.
Pernah jerawat menyerang wajahku dan membuatku
sebal. Aku pun Tanya padanya. “Yang, ngilangin jerawat gimana sih? Kok kamu
nggak pernah jerawatan?”
“Makanya Bu, jangan sering-sering mandi. Kamu sih,
habis masak mandi, habis jalan-jalan pagi mandi, kepipisan adik mandi….
Kebanyakan mandi nanti kamu mentik kayak tumbuhan!” jawabnya konyol. Aku
terkikik karena dalam pikiranku terbayang biji kacang hijau yang tiap hari
disiram hingga mentik jadi toge. Ah, si sayang memang selalu ada-ada aja! Tapi
aku segera tersadar dari lamunanku dan teriak.
“Udah… udah…! Mandi dulu, pokoknya aku nggak mau
nyiapin nasi kalau Mas belum mandi,” kataku mengingat kebiasaannya tak mau
makan kalau bukan aku yang nyendokin ke piring dan menyiapkan semuanya. Manja!
“Gimana aku mau mandi kalau ada bidadari cantik
yang menahan langkahku?”
“Ngegombalnya nanti aja!” Aku mendelik, dan dia
nyengir bandel lalu segera mengambil handuk dan baju santainya yang dari tadi
sudah aku siapkan.
Ketika ia mandi aku menyiapkan makanannya. Beberapa
saat kemudian dia keluar dan melemparkan handuk basah ke atas tempat tidur.
“Mas…!” ujarku sambil melirik handuknya.
“Sorry… sorry, Neeeng. Lupa…” ujarnya sambil
cengar-cengir, “Cerewet” bisiknya sambil menggantung handuk di tempatnya dan
membuatku mendelik. Ia cuma tertawa.
Begitulah, tak ada yang jelek pada tingkahnya. Dia
selalu nyantai saja kalau diprotes ketidakdisiplinnya menaruh handuk, buku,
sepatu, sabun mandi, dan lain-lain. Aku juga tak mempedulikannya benar kalau
sedang menggebu sayang dan kangenku padanya. Tapi kalau kebetulan sedang bad
mood, hal kecil itu bisa juga membuat kami diam-diaman.
Seperti pagi itu, kami berangkat kantor bareng.
Senang rasanya bisa bergandengan sepanjang jalan menuju terminal sebelum
berganti kendaraan ke kantor masing-masing, apalagi kami jarang bisa bersma.
Pulang kerja paling cepat pukul delapan malam ia sampai rumah. Kalau ada
kegiatan ekstra seperti Rohis kantor, karang taruna di lingkungan kami, tugas
keluar kota,
atau mengisi pengajian, kami jarang bisa bersama dalam waktu yang agak lama.
Karea itu, kami senang bisa berangkat bareng ke kantor.
Tapi begitulah, hari itu rasanya menjengkelkan sekali. Sedang enak-enaknya
jalan bergandengan di tepi trotoar menunggu bus lewat, tiba-tiba busnya datang
duluan.
“Bu… Bu, tuh busku datang, yok…” Terburu-buru ia
mengejar Patas AC yang memang langka dan selalu penuh itu. Hup, dia melompat ke
dalam bus dan meninggalkanku sendirian di jalan. Sebal! Nggak ada basa-basinya.
Salam dulu kek, beri aku kesempatan mencium tangannya kek, atau bilang ‘Aku
duluan, ya Yang, hati-hati di jalan,’ gitu… Kayak di film-film. Ini, mah…
boro-boro. Sebal, rutukku kesal.
Rasa kesalku akhirnya merambat ke hal-hal lain.
Seingatku ia pernah mengantar aku belanja ke swalayan seperti yang dilakukan
para suami teman-temanku. Tapi coba dia bilang apa, ketika aku minta diantar?
“Kamu kan
punya kaki, jalanlah sendiri. Tugasku lagi banyak! Tak usah manja. Ingat
muslimah harus tegar, siap berjihad fi syara wa dhara!”
Auk ah gelap! Sebeeeeeeellll!!! Cibirku dalam hati. Aku memang bisa jalan
sendiri, tapi kan
sekali-kali bolehlah manja. Dia itu kalau aku lahi ingin kolokan kadang masa
bodo terus.
“Mas, kepalalku pusing nih!” kataku dengan memelas,
menyilakannya untuk memijit kepalaku atau apalah biar aku bisa sedikit manja
padanya.
Dia Cuma jawab, “Oh, pusing. Minum obat sana!” katanya tetap
menekuri buku yang dibacanya.
Huuuh bĂȘte! Aku pun jadi cemberut semalaman tapi
dia tetap tak sadar. Setelah matanya sepet karena membaca, ia menguap lebar
lalu mencium keningku yang sedang cemberut di sampingnya lalu mendengkur tidur.
Hiiih… gak liat apa aku udah pasang muka ditekuk begitu? Kan capek, hargain sedikit dong! Sebal!
Pernah suatu saat dia bertugas keluar kota. Aku mengantarnya
sampai stasiun kereta berharap bisa bercakap melepas kangen sebelum berpisah.
Namun, di stasiun dia bertemu dengan kawannya waktu kuliah dulu. Ngobrol lama
sekali. Aku ikut mengobrol karena tak tahu topic pembicaraan anak teknik
industry, dan ia laki-laki, lagipula suamiku lupa mengenalkan temannya itu
padaku. Aku Cuma bisa berdiri menunggu jadi kambing congek. Setelah sekitar
empat puluh menit, percakapan itu baru selesai. Itupun karena kereta ArgoBromo
datang dan ia tergesa-gesa mengangkat barang-barangnya.
“Bu… aku berangkat, ya, hati-hati di rumah!”
Aku Cuma menatap kepergiannya dengan doa. Semoga
selamat pulang dan pergi. Tapi dasar suamiku cuek. Tiga hari di luar kota, tak member kabar
apapun. Telepon kek, kalau sudah sampai atau kasih tahu kami dimana dia
menginap. Apa dia sehat-sehat saja? Pikiranku jadi macam-macam. Jangan-jangan
dia tidak sampai? Jangan-jangan ada penjahat yang menodongnya lalu ia terluka,
berdarah-darah dan masuk rumah sakit? Atau dia mengalami kecelakaan, ketabrak
truk waktu hendak menyeberang, terkapar sendirian, tewas mengenaskan, tak ada
saudara yang tahu, dan aku… aku jadi janda…. Lalu bagaimana dengan dua anakku
yang masih kecil-kecil itu. Akhirnya aku menangis di depan anak-anakku yang
tengah terlelap tidur. ‘Kalian akan jadi yatim, Nak!’ bisikku pilu.
Aku pun merancang-rancang rencana kalau suamiku benar-benar mati. Mungkin aku
akan jualan gado-gado, atau menitipkan kue-kue ke toko-toko untuk menunjang
gaji kantorku yang tidak begitu besar. Tiba-tiba pikiranku melompat. Atau
jangan-jangan dia sudah punya istri baru disana, jadi lupa meneleponku. Hatiku
jadi cemburu tak karuan. Teganya si Mas. Mas, awas saja kalau sampai begitu,
aku nggak relaaaaaa…!!!
Selama itu aku jadi salah tingkah, cemas, sehingga
tidak punya nafsu makan dan tak bisa tidur karena memikirkannya. Aku berusaha
banyak shalat dan membaca Al Qur’an, tapi pikiranku tak khusyuk, mengembara
kemana-mana.
Tiga hari kemudian dia datang dengan tas besarnya yang berisi pakaian kotor dan
beberapa tas oleh-oleh.
“Assalamu’alaykum!”
Ia merangkul anak-anaknya dengan sepenuh kangen.
Diam-diam aku memandanginya menyelidiki kalau-kalau memang dia punya affair,
tapi tingkahnya tak mencurigakan kecuali kalau dia actor yang bisa beracting
luar biasa. Ketika ia mengungkapkan kekangenannya padaku, kedengarannya sangat
tulus, tak dibuat-buat. Hilang sudah prasangkaku, walaupun setelah ia istirahat
aku tumpahkan juga unek-unekku atas kelalaiannya menelepon.
“Ya, ampun… Bu…Bu, makanya jangan kebanyakan nonton
sinetron! Jadi emosional begitu!”
Dia malah tertawa mendengar kekhawatiranku yang
berlebuhan. “Kalau aku meninggal, kawin aja lagi, repot amat… kamu masih muda
dan cantik!” katanya di sela tawa.
Aku malah tambah sewot.
“Memangnya kamu pikir aku mudah gonta-ganti
pasangan? Aku tuh tipe wanita setia tau? Kalau sudah satu, satu selamanya untuk
seumur hidup! Lagian apa susahnya ngangkat telpon, kasih kabar kamu dimana,
lagi ngapain…” Aku nyap-nyap nggak karuan, mengungkit semuanya.
Mungkin karena masih capek dari luar kota, dia dengan sukses
mendengkur tak mempedulikan omelanku.
“Hai, jangan tidur dulu, aku belum puas ngomelnya!”
kataku mengguncang-guncang badannya tapi dengkurannya malah tambah keras.
Besoknya habis shalat shubuh berjamaah, aku menekuk
mukaku sampai saat sarapan. Rupanya dia juga kesal dengan sikapku. Kami jadi
diam-diaman dan berangkat kantor sendiri-sendiri. Tapi tengah hari ia menelepon
ke kantorku meminta maaf.
Malam harinya dia bilang, “Jangan berantem lagi ya
Bu? Capek!”
Aku mengiyakan. Iya lah. Memangnya cemberut terus
gak capek? Mana sedang kangen lagi!
Sejak saat itu, ia memang agak mendingan. Kalau mau
pulang kemalaman, dia telepon dulu member kabar, menyuruhku makan malam duluan.
Tapi itu tak berlangsung lama. Kalau tak diingatkan, kebiasaan cueknya suka
kembali.
Memang sudah cetakannya begitu kali. Dengan
saudara-saudaranya juga begitu. Ia tak pernah telepon kalau aku tak
mengingatkannya. Aku maklum, memang hubungan persaudaraan mereka agak kaku,
tidak heboh seperti hubunganku dengan kakak dan adik-adikku. Bahkan ketika aku
suruh dia menelepon ibunya minimal seminggu sekali, ia malah bilang, ‘ngomongin
apa, ya?’ Padahal aku sendiri dalam seminggu paling tidak menghabiskan sejam
dua jam untuk menelepon ortu, mertua, dan saudara-saudara.
Mengingat sifatnya memang cuek, aku tak menekuk mukaku ketika ia pulang
menjelang pukul setengah sebelas. Biasa, habis ngisi pengajian. Aku menyiapkan
makan dan mengobrol dengan manis. Kami diskusi tentang buku yang baru
dibacanya, kebetulan tentang komunikasi suami istri.
Aku arahkan pembicaraan ke tingkahnya yang
membuatku kesal. Tapi aku tak mau to the point. Aku arahkan hal itu dengan
bercerita tentang temen SMU-ku dulu. Rian dan Novi
yang putus pacaran Cuma gara-gara tak dibukakan pintu mobil.
Alkisah, Novi
sudah berdandan habis, berusaha secantik mungkin untuk nge-date, tapi Rian
datang dengan jeans belel dan kaos oblong. Novi
berjalan keluar laksana seorang putri. Ia berdiri menanti, sementara Rian
langsung membuka mobil dan duduk di belakang kemudi. Novi
sebenarnya menunggu dibukakan pintu, seperti yang biasa dilakukan para
gentleman. Akan tetapi, Rian malah mengklakson mobilnya dengan tak sabar.
Akhirnya mereka bertengkar. Besok pagi berita bahwa mereka putus telah tersebar
ke seluruh penjuru sekolah. Novi bilang padaku
bahwa dia capek jalan sama orang yang nggak ada romantic-romantisnya. Sedangkan
Rian bilang, emangnya dia gak punya tangan buat buka pintu?
“Dulu aku heran, kok bisa-bisanya gara-gara nggak
dibukain pintu mobil aja hubungan mereka jadi putus?” kataku pada suamiku yang
mendengarkan sambil menikmati makanannya.
“Itu tandanya Allah masih sayang sama si Rian. Dia
dijaga Allah biar nggak pacaran. Mungkin dia sekarang sudah insyaf. Mungkin dia
udah jadi ustadz!”
“Iiih kamu salah ngambil ibrah!” selaku keki. Aku kan cerita begitu untuk
menyindirnya.
“Aku ngomong begini sehubungan dengan … kamu kalau
naik bus duluan. Mbok ya jangan ninggalin aku begitu aja. Salam dulu kek,
basa-basi apa gitu… Ini sih teruuus aja lari. Habis manis sepah dibuang!”
“Duuuh si Eneeeng maraaaah!”
Aku terus saja menumpahkan kekesalanku tentang
kecuekan dan ketidakromantisannya. Tentang seringnya aku member hadiah dasi,
kemeja, dan memperhatikan pernak-pernik kebutuhannya, walaupun kukatakan itu
memang uang gajinya. Tapi dia jarang memberiku hadiah. Sekalinya aku ulang
tahun, aku diberi kado pisau Victorinox. Memang sih pisau itu sangat membantuku
di dapur. Tapi kayaknya ngeri… dihadiahi pisau. Yang romantic dikit dong!
Sampai dia tak pernah membelikan bunga untukku pun ikut kukeluhkan.
“ya ampun, say… aku kan sudah menyerahkan semua gajiku padamu,
maksutnya biar kamu bisa beli bunga segerobak atau sesuka yang kamu mau!”
Aku terpaksa tertawa mendengar jawabannya. “dasar
si Ayah… tak ada romantic-romantisnya. Kamu kan pegang kredit card dan ATM, jadi bisa
belanja!” kataku di sela-sela rasa geli karena sifat cueknya yang memang tak
dibuat-buat.
Sejak itu aku lebih maklum lagi dengan sifatnya.
Kalau aku lagi merasa terganggu dengan sifatnya, aku mencoba mengingat-ingat
segala kebaikannya. Perihal dia tak pernah marah, hamper selalu bermuka cerah
di hadapanku, shalih dan rajin ibadah, tegas dan punya prinsip, cerdas dan enak
diajak diskusi, dan yang paling penting sekali ia sangat mendukung serta
memberikan kebebasan padaku untuk mengembangkan diri, sejauh itu bisa
dipertanggungjawabkan.
Keesokan harinya ia membawa lima buag pot bunga mawar sepulang kerja.
“Say.. Say… ini aku belikan pohon mawar. Aku tidak membelikanmu bunga tapi
pohon… biar kamu bisa memetik bunganya sepanjang hari. Sesering kamu suka.”
Aku tertawa haru. “Makasih ya Mas,” ujarku sambil
menghadiahinya sun sayang. Minimal dia mulai ngeri apa keinginanku.
Sekarang kalau berangkat kerja bareng, ketika akan
naik angkot, dia menyikakan aku naik duluan, dan ketika sampai, dia menungguku
turun lebih dulu.
“Udah nyadar?” bisikki padanya sambil berjalan di
sisinya.
“Ladies first! Aku kan banyak belajar dari kamu!” jawabnya
kalem.
Ya memang sepanjang tahun perkawinan, kami terus
belajar satu sama lain. Seperti tiap saat ada saja hal-hal unik dari dirinya
yang baru kuketahui dan berusaha aku pahami.
Memsuki tahun kelima pernikahan kami, aku ingin menyiapkan sesuatu yang spesial
untuk keluarga. Aku masak yang agak banyak dan istimewa, menyiapkan bunga segar
dan lilin untuk candle light. Pagi-pagi sebelum subuh, aku mandi dn mulai
memasak. Selesai shalat di masjid, suamiku membaca Al Qur’an kemudian tidur
lagi. Sepertinya dia lupa pada tanggal istimewa kami. Dan memang dia jarang
merasa istimewa pada tanggal-tanggal yang sebalikknya kuanggap istimewa.
Aku juga segan mengingatkan. Ia malah sibuk sendiri
memilih baju untuk rapat pertemuan direksi. Ketika sarapan, aku singkirkan
bunga segar dari meja makan dan menaruhnya di meja ruang tamu. Kami sarapan
tanpa banyak cakap. Anak-anak pun tak rewel saat disuapi.
Aku menunggu ucapan selamatnya sampai kami menunggu
angkot. Ternyata dia biasa saja sampai kami berpisah bus karena kantor kami
lain jurusan. Ya… sudahlah, pikirku maklum.
Ketika sibuk-sibuknya menyelesaikan pekerjaan
kantor, pukul setengah dua belas siang, ia nongol di ruanganku.
“Ada
apa, Mas?” aku langsung berdiri menyambutnya.
“Dia tersenyum misterius. “Mau ngapain kamu rapi
banget? Pakai jas dan dasi segala. Jangan cakep-cakep nanti cewek-cewek pada
naksir!” sapaku heran.
“Kan
tadi habis rapat. Udah, jangan cerewet. Nge-Lunch yuuuk!”
“Hah, makan siang? Kamu gak kerja?”
“kan
hari ini kita ulang tahun pernikahan? Tumben kamu gak ingat?”
“Jadi Mas ingat? Dari tadi pagi?”
“Nggak sih..! Pas lagi ngomong-ngomong sama
temanku, aku jadi ingat hari ini kita ulang tahun. Kebetulan aku habis ngantar
big bos ke airport, terus ada urusan luar, dan masih ada waktu buat kita makan
siang bersua. Ayoo kapan lagi?!”
Aku tertawa girang. “Wah, surprise dong? Aku minta
ijin keluar sebentar… kalau-kalau nanti telat kembali ke kantor!”
“Aku sudah mintakan ijin. Kubilang ada urusan
keluarga!” katanya berbisik sambil tersenyum.
Teman-teman kantor sibuk menggoda ketika aku jalan
keluar dengannya.
“Gandengan nih yee!”
Pokoknya aku tersenyum terus sepanjang jalan. Happy
berat. Apalagi dia bawa mobil kantor segala. Ketika aku mau buka pintu, ia
buru-buru membukakan pintuku. Tambah surprise lagi ketika dia memberiku buket
bunga mawar. Wow, hatiku turut berbunga-bunga.
Kami makan di restoran yang agak mewah.
“Bayar, say…!” katanya selesai kami makan.
“Bayar? Bukannya kamu yang traktir?” tanyaku
terkejut.
“Aku nggak bawa uang. Kan ATM dan kredit card ada
di kamu, kemarin kamu minta buat bayar telepon” katanya lagi.
“Aku nggak bawa. Tadi pagi kutaruh di lemari buku.
Aku Cuma bawa uang pas untuk ongkos saja, lima
puluh ribu… itupun udah dipakai buat bayar bus!” kataku bingung.
Aku memang jarang bawa uang tunai dalam jumlah banyak. Begitu juga suamiku.
“Wah, gimana nih?”
Ia malah tertawa-tawa geli. Aku ngomel-ngomel
karena diajak makan tanpa periapan uang.
“Makanya Mas, jadi orang perhatian dikit!” Ujarku
kesal.
“Tahu gini mending makan di warteg aja tadi!”
Ia malah semakin lebar tertawanya. Akhirnya ia
menemui manajer restoran, menjelaskan semuanya dan meninggalkan KTP. Untung
manajer itu mau menerima walaupun wajahnya agak curiga. Malunya itu lho, masak
makan di resto dengan jaminan KTP.
“Sorry ya, Yang… He, tambahin ongkos dong..! Ungku
habis buat beli bunga!” katanya lagi sambil mesam-mesem.
Aku tambah mendelik keki. Sekali lagi aku berusaha
maklum. Memang sudah dari sana
cetakannya begitu!. Pikirku sambil memandangnya gemas…
***